JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Rupiah di pasar spot berhasil lepas dari posisi Rp14.200. Selasa (22/5), rupiah berada di harga Rp14.142 per dolar AS. Di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah bertengger di level Rp14.178 per dolar AS. Bank Indonesia meyakini bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih baik.
Namun, defisit neraca perdagangan 1,63 miliar dolar AS memang memberikan pengaruh pada nilai tukar yang melemah. ’’Tapi, perlu diketahui, dari defisit itu ada impor yang sifatnya untuk mendukung ekonomi menjelang Idul Fitri (impor barang modal dan bahan baku, red),’’ kata Gubernur BI Agus Martowardojo setelah rapat bersama DPR, kemarin.
Sentimen eksternal juga berpengaruh. Salah satunya, ekspektasi kenaikan lanjutan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) sebanyak tiga kali tahun ini. Namun, negosiasi perdagangan AS dengan Tiongkok kemarin sedikit meredam pelemahan lanjutan dari rupiah. Sebab, Cina masih bisa memperbaiki neraca perdagangannya.
Pada Mei, secara month to date (mtd), rupiah melemah 1,73 persen (JISDOR). Jika dihitung sejak Januari 2018, rupiah melemah 4,7 persen. ’’Secara year to date, di negara-negara lain seperti India dan Turki, kondisinya lebih buruk (daripada Indonesia). Tetapi, faktor net export yang berkurang membuat kita tidak optimal,’’ jelas Agus.
Agus berharap pemerintah memperbaiki kinerja ekspor dan menyelaraskan arah kebijakan investasi. BI sejauh ini melakukan intervensi di pasar valas dan surat berharga negara (SBN), menaikkan suku bunga acuan, serta meningkatkan frekuensi lelang FX swap tiga kali sepekan. Agus membantah anggapan yang menyebut BI mencari untung dari aktivitas intervensi.
’’Itu (intervensi, red) dilakukan untuk mencapai kestabilan kalau situasi pasar berubah. Itu bisa mendatangkan biaya atau penghasilan. Tapi, pendapatan dan penghasilan bukan tujuan kami. Tujuan kami adalah menjalankan mandat itu (menjaga stabilitas n ilai tukar, red),’’ papar mantan menteri keuangan tersebut.
Sejak dolar AS menguat, banyak dana asing yang keluar. Namun, menurut Agus, kepemilikan dana asing di pasar surat utang hanya 38 persen. Di pasar saham, asing melakukan jual bersih Rp41,74 triliun sejak Januari 2018. Namun, pihak bursa tidak khawatir. ’’Kepemilikan asing di pasar saham kita sekarang 48 persen. Pada 2-3 tahun lalu, asing masih memiliki 64 persen,’’ ujar Direktur PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Nicky Hogan.
Analis Bahana Sekuritas Muhammad Wafi menjelaskan, depresiasi rupiah dan indeks yang naik-turun membuat perusahaan menunda rencana melantai di bursa. ’’Uncertainty (ketidakpastian) saat ini cukup besar. Kemudian, harga minyak naik. Rupiah melemah dan ekspor komoditas belum seperti yang diharapkan,’’ ujarnya.(rin/c14/sof/das)