JAKARTA (RP) - Permainan cantik Bank Indonesia (BI) dalam membuka kuatnya gembok resiprokal otoritas moneter Singapura mulai membuahkan hasil. Rencana akuisisi Bank Danamon oleh DBS Group Holdings Ltd menjadi senjata ampuh BI.
Gubernur BI Darmin Nasution mengakui, BI memang sengaja mengulur-ulur persetujuan akuisisi Bank Danamon sebagai strategi memperkuat bargaining position menghadapi otoritas moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS).
"Kita sampai pada keputusan, DBS boleh akuisisi 40 persen saham Danamon. Tapi, kalau mereka mau lebih (porsi kepemilikan sahamnya), maka ada syarat yang harus dipenuhi," ujarnya saat paparan pencapaian kinerja di Komisi XI DPR kemarin (21/5).
Sebagaimana diketahui, April 2012 lalu, DBS Group Holdings Ltd, telah menandatangani perjanjian jual beli saham bersyarat dengan Fullerton Financial Holdings Pte Ltd (FFH) untuk mengambil alih 100 persen saham yang dimiliki FFH pada Asia Financial Indonesia Pte Ltd (AFI).
Asia Financial Indonesia ini memiliki 67,37 persen saham pada PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Nilai transaksi pengambilalihan mencapai Rp 45,2 triliun.
Namun, BI sudah memiliki regulasi baru terkait dengan kepemilikan bank. Untuk pemegang saham perorangan dibatasi maksimal 20 persen, korporasi nonkeuangan 30 persen, dan lembaga keuangan 40 persen.
Karena itu, sesuai regulasi, maksimal saham Danamon yang bisa diambil alih adalah 40 persen. Tentu saja, DBS protes karena saat ini saja FFI sudah memiliki 67,37 persen saham.
"Lalu, mereka minta diskresi agar BI beri privilege bagi DBS untuk menguasai 67 persen saham itu. Tapi, kalau mereka mau minta privilege, kita juga tuntut privilege, terutama untuk tiga bank BUMN kita (Mandiri, BRI, dan BNI) agar diberi keleluasaan ekspansi bisnis di Singapura," jelasnya.
Lalu, kapan prosesnya akan tuntas? DBS tampaknya sudah sangat ingin segera menguasai saham Danamon. Legitnya bisnis perbankan di Indonesia memang memikat investor-investor asing.
Karena itu, MAS pun terus mendesak BI untuk segera memberikan izin akuisisi. "Saya bilang ke mereka, kalau you bisa cepat (buka akses resiprokal untuk bank BUMN), saya juga bisa cepat. Jadi, sekarang mereka sedang ubah beberapa regulasi agar bisa memenuhi permintaan kita," ucapnya.
Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengapresiasi positif pendirian tegas BI dalam memperjuangkan azas resiprokal. Menurut dia, selama ini BI maupun pemerintah terkesan kurang tangguh ketika bernegosiasi dengan otoritas perbankan negara lain.
"Akibatnya, bank kita selalu dipersulit di negara lain. Tapi, bank-bank asing begitu leluasa berbisnis di Indonesia," ujarnya.
Darmin mengakui, regulasi perbankan di Indonesia memang sudah sangat liberal pasca krisis moneter 1998. Akibatnya, selama ini Indonesia tidak punya posisi tawar. Karena itu, rencana akuisisi Danamon oleh DBS ini menjadi berkah karena Indonesia punya posisi tawar yang kuat.
"Pelajaran terpenting dari kejadian ini adalah, jangan ngomong resiprokal kalau kita tidak punya apa-apa (posisi tawar)," katanya. (owi/jpnn)