INDUSTRI GULA

Pemutakhiran Teknologi Harus Dilakukan dalam Revitalisasi Pabrik Gula

Ekonomi-Bisnis | Minggu, 21 Februari 2021 - 03:04 WIB

Pemutakhiran Teknologi Harus Dilakukan dalam Revitalisasi Pabrik Gula
Bangunan utama Pabrik Gula Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, setelah dilakukan renovasi dan pemutakhiran teknologi. (LAMAN PEMKAB PATI)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal menyatakan revitalisasi pabrik gula PTPN mesti dengan pemutakhiran teknologi karena pabrik milik BUMN itu saat ini teknologinya masih kurang canggih dibandingkan swasta.

"Pabrik milik PTPN teknologinya masih kalah dengan pabrik swasta, sehingga belum tentu efisien, meskipun telah direvitalisasi nantinya," katanya dalam rilis di Jakarta, Sabtu.


Menurut dia, bila operasionalisasi pabrik gula tidak efisien, maka akan mengalami kesulitan ke depannya karena bisa saja HPP gula dari petani sudah tinggi, serta karena produktivitas lahannya juga rendah.

Untuk itu, ia mengutarakan harapannya agar ke depannya produktivitas lahan bisa lebih ditingkatkan lagi.

"Hari ini misalnya 1 hektare bisa menghasilkan 60 sampai 70 ton tebu, kalau bisa ditingkatkan lagi menjadi 100 ton, itu adalah peningkatan produktivitas yang sangat signifikan," paparnya.

Dengan demikian, Hekal berpendapat bahwa langkah revitalisasi pabrik gula juga bukan hanya fokus di pabriknya, tetapi juga terhadap produktivitas lahan tebunya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan rencana revisi regulasi terkait kebutuhan gula nasional juga harus mampu mendukung kebutuhan industri pengguna gula.

"Revisi ini perlu dilakukan agar sesuai dengan UU Cipta Kerja yang menjanjikan kemudahan untuk memperoleh bahan baku dan bahan penolong bagi industri," katanya.

Menurut dia, dalam rancangan revisi Peraturan Menteri Perindustrian terkait Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula, dikabarkan bahwa Kementerian Perindustrian berencana untuk mengizinkan pabrik gula yang ada untuk mengimpor bahan baku.

Dengan demikian, lanjutnya, bila bukan hanya pabrik gula baru yang diizinkan untuk mengimpor, maka hal itu adalah terobosan.

"Perubahan ketentuan ini merupakan terobosan kebijakan yang sangat diperlukan untuk mendukung industri gula Indonesia," papar Felippa.

Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA) untuk 2020/2021, saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2 juta ton gula. Jumlah ini belum mencukupi total permintaan sebesar 7,2 juta ton untuk keperluan konsumsi maupun industri.

Selama ini, masih menurut dia, kebijakan yang mengharuskan pabrik gula untuk terintegrasi dengan kebun tebu mengalami tantangan, seperti terbatasnya lahan dan rendahnya produktivitas tebu.

BPS mencatat luas lahan tebu rakyat berkurang dari 263.000 hektare pada 2014 menjadi 232.900 hektare pada 2019. Sementara perkebunan besar juga berkurang dari 209.700 hektare jadi 176.800 hektare pada periode yang sama

“Revitalisasi pabrik gula sudah lama disuarakan sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki kinerja industri gula di Tanah Air. Adanya impor gula juga dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kualitas gula. Saat ini, kualitas gula di Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan industri pengguna gula," katanya.

Sumber: JPNN/Antara/JPG
Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook