RUU Omnibus Law Untungkan Pengusaha

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 21 Februari 2020 - 10:01 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan sikap untuk menolak pengesahan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menjadi UU resmi di Indonesia. Sebab, terdapat beberapa pasal yang kontradiktif untuk melestarikan alam.

Salah satunya adalah pasal 24 yang berada dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyebutkan bahwa saat ini izin amdal menjadi sesuatu yang dipertimbangkan dalam mendirikan perusahaan. Padahal izin itu sangat penting terkait apakah perusahaan tersebut nantinya bisa menjaga lingkungan atau tidak. Bahkan, fungsi Komisi Penilai Amdal yang berada dalam pasal 30 juga telah dihapuskan dalam RUU Omnibus Law yang fungsinya dialihkan ke Pemerintah Pusat.


"Pasal 30 PPLH amdal itu disusun oleh pemrakarsa oleh pelaku usahanya lalu baru diuji oleh Komisi Penilai Amdal, komisi itu dihapus. Selama ini kan ada ruang untuk menghentikan rencana yang berisiko terhadap lingkungan, sekarang nggak ada, dihapus," ungkap Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi di di Kantor WALHI, Jakarta, Kamis (20/2).

Ia pun geram akan revisi pasal yang dilakukan pemerintah. Ia mengajak masyarakat untuk memahami bahayanya RUU tersebut jika disahkan.

Menurut pendapat pribadinya, posisi pengusaha saat ini mirip dengan perusahaan persekutuan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yakni didukung negara untuk mengeruk keuntungan di Indonesia.

"Soalnya posisi korporasi itu mirip kaya VOC, rakyat tidak punya hak, peran dan fungsi negara itu melayani VOC. Kami melihat penting rakyat Indonesia menyadari bahwa UU Omnibus Law dibuat seolah-olah kita akan meninggalkan bumi ini dalam waktu dekat. Karena kalau ini diberlakukan, akan ada masanya ruang di Indonesia ini tidak layak untuk dihuni," ujarnya.

Jikalau RUU ini sah, pasal yang mengatur soal hak penggugatan warga negara terhadap perusahaan yang merusak alam pun telah dibatasi oleh pemerintah. Yakni hanya yang terkena dampak saja yang berhak menggugat. Padahal, menjaga kelestarian alam merupakan hak dan kewajiban seluruh masyarakat Indonesia.

"Di UU ini ruang untuk menggugat dihilangkan, tidak bisa digugat. Artinya ke depan kalau RUU ini disahkan, proses ini (amdal) dikeluarkan serampangan. Artinya kewenangan itu dia (perusahaan) terlihat seperti sangat absolut, ketika digugat itu nggak bisa diapa-apain," tutur Zenzi lagi.(jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook