JAKARTA (RP) -Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri memang sudah merelakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator uji surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas).
Namun mekanisme pelimpahan kasus tersebut bukan merupakan perkara mudah. Tak hanya terkait teknis, pelimpahan kasus juga berpengaruh terhadap materi penyidikan.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, pelimpahan berkas kasus didasarkan pada pasal 50 ayat 3 dan 4 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
‘’Dalam pasal tersebut disebutkan jika KPK telah melakukan penyidikan, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan,’’ kata Johan di kantornya kemarin.
Sedangkan kepolisian ingin melimpahkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 19 yang mengatur tentang pelimpahan berkas ke penuntutan.
‘’Memang tidak sesimpel yang dibayangkan,’’ kata Johan. Menurut informasi, kepolisian ingin menggunakan pasal 19 KUHAP agar hasil penyidikannya tetap dipakai oleh penuntut di KPK.
Dengan mekanisme itu, KPK langsung melaksanakan fungsi penuntutan. Ini yang membuat KPK masih belum sreg. Karena, konstruksi penyidikan oleh KPK belum tentu sama dengan kepolisian.
Masalah lain juga terkait dua tersangka dari kepolisian yang tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka adalah Ketua Panitia Pengadaan Simulator Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan dan Bendahara Korlantas Komisaris Pol Legimo.
Dalam penyidikan oleh kepolisian, mereka disangka memalsukan tanda tangan Djoko Susilo. Sangkaan kepolisian itu tentunya bertentangan dengan konstruksi penyidikan KPK yang menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka.
Sementara itu, Mabes Polri membantah telah menahan kasus simulator. Rupanya, mereka belum bisa menemukan pasal yang pas untuk digunakan dalam kasus ini. Surat KPK yang meminta SP3 (penghentian penyidikan) juga dianggap tak bisa dilakukan.
‘’Kami masih menunggu koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan juga dengan KPK,’’ ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar di kantornya kemarin.
Jika langsung di SP3 sesuai permintaan KPK, Boy menyebut menyalahi aturan KUHAP. ‘’Apa dasarnya karena memang kasus ini ada dan lengkap bukti-buktinya,’’ katanya.
Mabes Polri mengaku tak pernah menghalang-halangi pelimpahan. Bahkan sejak instruksi SBY dilakukan, mereka langsung mencari formula yang tepat.
‘’Jadi penyerahan terkait berkas perkara dan tersangka masih dikoordinasikan, tapi semenjak instruksi Presiden tanggal 8 Oktober, kita langsung melakukan langkah-langkah untuk melimpahkan kasus itu,’’ katanya.
Pada tanggal 9 mereka koordinasi dengan KPK, kemudian esoknya tanggal 10 Polri menghubungi Kejagung. ‘’Kita melakukan langkah-langkah tiap hari sejak pidato bapak Presiden,’’ katanya.
Polri, kata Boy, juga mengusulkan agar pelaksanaan ekspos perkara yang diwakili Brigjen (Pol) Nur Ali dimulai lebih cepat pada 12 Oktober, tapi KPK menolak dan meminta untuk mundur hingga 15 Oktober.
Berikutnya, pada 16 Oktober 2012, dilakukan pembahasan antara tim penyidik mengenai berkas perkara, barang bukti dan para tersangka yang sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang ada di KPK.
Pada 17 Oktober 2012, Boy mengatakan Bareskrim Polri telah mengirimkan surat kepada pimpinan KPK yang menyatakan kesiapan untuk menyerahkan kasus yang melibatkan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo itu.
‘’Saat itu juga dijelaskan juga langkah dari Polri terkait penyidikan ini,’’ katanya.
Esoknya, pada 18 Oktober 2012, KPK mengirimkan surat kepada Polri untuk melakukan penghentian penyidikan kasus simulator.
Pada akhirnya Jumat (19/10) kemarin, penyidik Bareskrim Polri menggelar perkara untuk merespon permintaan itu.
‘’Hasilnya belum bisa, karena menunggu dasar hukum. Kami nanti juga bisa dipraperadilankan para tersangka jika langsung begitu saja diserahkan ke KPK,’’ katanya.
Terpisah, pakar hukum pidana Mudzakir mengatakan, persoalan kasus simulator tersebut memang sudah rumit sejak awal. Jika masing-masing tetap bertahan pada argumentasinya, kata dia, maka persoalannya makin berlarut-larut.
‘’Kalau menggunakan pasal 50 (UU KPK) produk hukumnya beda, menggunakan pasal KUHAP juga beda. Itu yang jadi masalah,’’ kata Mudzakir.
Dia menjelaskan, penerapan pasal 50 UU KPK untuk melimpahkan kasus simulator dari Polri ke KPK bisa dilakukan jika penanganan perkara yang dilakukan Polri belum menghasilkan produk hukum.
‘’Persoalannya, penyidik (Polri) sudah menghasilkan produk hukum,’’ katanya.
Mudzakir lantas menyebutkan contoh penahanan terhadap tersangka oleh Polri dan sudah adanya P-19 (petunjuk) dari jaksa untuk kelengkapan berkas perkara simulator yang sempat dilimpahkan penyidik ke jaksa.
Lantas, bagaimana solusinya? Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) itu mengharapkan ada ruang bijaksana masing-masing institusi untuk menghormati institusi lainnya. Misalnya dengan melakukan koordinasi supervisi.
‘’Sehingga paket (perkara) yang diselesaikan polisi sama dengan KPK. Harus seirama dan saling cross check,’’ terangnya.
Bahkan nantinya bisa diadili dalam waktu yang bersamaan serta hakim yang sama. ‘’Intinya ada ruang dialog. Jangan sampai ada egoisme sektoral,’’ ingat Mudzakir.(sof/rdl/jpnn/ila)