Guru Besar UGM Ingatkan Risiko Bisnis Digital

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 20 September 2019 - 02:49 WIB

Guru Besar UGM Ingatkan Risiko Bisnis Digital

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Guru Besar Bidang Keuangan di Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Agus Sartono mengatakan, perubahan lingkungan bisnis akhir-akhir ini diwarnai dengan munculnya berbagai perusahaan rintisan (startup) yang memanfaatkan teknologi untuk menunjang bisnisnya. Perusahaan Startup ini diketahui berumur masih sangat muda tetapi punya valuasi bisnis bernilai jutaan hingga miliran dolar.

"Bisnis digital merupakan tren di kalangan masyarakat tapi terdapat risiko yang tidak disadari oleh masyarakat dan juga investor terutama terkait dengan penilaian perusahaan semacam ini. Konsep penilaian bisnis yang diajarkan di sekolah bisnis nampaknya perlu dikaji lagi apakah masih sesuai dan dapat diterapkan untuk menilai perusahaan-perusahaan teknologi?” kata Agus saat orasi ilmiah berjudul Bisnis Digital: Tren dan Perubahan Lanskap Keuangan di rapat senat terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-64 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (19/9)


Selain itu, Agus juga menekankan perlunya kewaspadaan baik imbas maupun risiko yang akan dialami seiring bertumbuhnya aneka model bisnis digital. Akses kemudahan permodalan atau pinjaman dari perusahaan Fintech misalnya, tentu bisa mengancam keuntungan yang diperoleh dari layanan perbankan konvensional, baik sebagai layanan jasa perbankan maupun kredit. 

"Masyarakat juga perlu diedukasi bahwa kemudahan pinjaman itu tidak dipergunakan untuk konsumsi tetapi untuk kebutuhan usaha misalnya,” papar Agus yang juga deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK.

Dalam orasi ilmiahnya ini, Agus justru mengungkapkan kerisauannya terhadap model penilaian perusahaan. Selama ini, menurutnya, corporate value dapat diukur menggunakan discounted cash flow model; multiple model; atau menggunakan option pricing model. Discounted cash model pada dasarnya dilakukan dengan cara free cash flow diukur nilainya sekarang menggunakan discount rate. Model ini mensyaratkan adanya free cash flow yang positif. Persoalan muncul karena begiu banyak bisnis digital yang bahkan belum membukukan laba, tetapi nilai perusahaannya sangat tinggi.

Pendekatan kedua menggunakan pembanding perusahaan sejenis. Hanya saja kesulitan yang sering muncul adalah bagi bisnis digital, startup maupun fintech sulit dicari perusahaan pembanding. Pendekatan lain yakni menggunakan option pricing model. Karena perusahaan pada prinsipnya dapat dipandang sebagai portfolio aset atau portfolio liabilities/equity. Dari perspektif investor ekuitas, nilai perusahaan dapat diukur dengan option pricing kodel. Nilai perusahaan dikatakan in the money jika lebih tinggi dari exercise price dan sebaliknya.

Terlepas dari model penilaian yang digunakan, Agus mengingatkan risiko dan potensi terjadinya buble. Selain itu Agus mewanti-wanti agar tidak terjadi money illusion, di mana perusahaan gagal menghasilkan free cash flow yang positif. Kegagalan tersebut dapat saja disebabkan karena bisnis digital tidak mampu melakukan monetisasi user ataupun pelanggarnya.

Agus juga mengingatkan potensi buble fintech terlebih yang sudah menjadi unicorn ataupun decacorn. Jika angle investor justru didominasi oleh asing, bisa jadi dengan mudah repatriasi laba keluar negeri dan berdampak buruk terhadap neraca pembayaran. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah bahwa angle investor dapat dengan mudah keluar dari bisnis digital. Apabila bisnis digital tersebut menyangkut user atau masyarakat luas, dampak negatif akan sangat besar.

Meski potensi risiko bisnis digital, startup dan fintech sangat tinggi, Agus masih optimistis buble yang pernah terjadi di negara lain masih betum tentu terjadi di Indonesia. Namun demikian perlu diwaspadai karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi. (esy/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook