Denny Indrayana: Advokat Korup Terima Bayaran Uang Hasil Korupsi

Ekonomi-Bisnis | Senin, 20 Agustus 2012 - 19:00 WIB

JAKARTA (RP) - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana meluruskan kicauannya soal advokat korup di akun twitter miliknya, Sabtu (18/8). Ia mengatakan banyak yang salah paham dan menduga dirinya tengah menyerang profesi advokat dengan kicauannya itu.

"Tentu tidak. Saya justru menghormati profesi mulia itu," tulis Denny di twitternya beberapa jam lalu.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Denny menjelaskan advokat korup adalah koruptor itu sendiri, yang membela membabi buta dan tanpa malu menerima bayaran uang hasil korupsi. Artinya advokat yang tidak membela kliennya secara membabi buta, dan menolak bayaran uang hasil korupsi, bukan termasuk advokat korup.

"Bukan pula saya menolak tersangka korupsi mendapatkan pembelaan hukum. Semua orang berhak atas proses hukum yang fair. Tapi ada perbedaan mendasar antara jaminan fair trial dng pembelaan membabi buta, demi membebaskan sang koruptor yg bayar," kata Denny melanjutkan kicauannya.

Dalam akun twitternya, @dennyindrayana, Denny juga mengatakan advokat korup sangat memalukan. Maka kalau dirinya jadi pengurus dewan etik advokat, maka akan menjatuhkan sanksi tegas bagi advokat korup dengan mencabut izin advokatnya.

"Di negara yang lebih baik profesi advokatnya, fungsi advokat bukan semata-mata membela yang bayar, tapi menemukan keadilan. Di negara maju, advokat tidak akan menyatakan kliennya yang jelas-jelas korupsi, disulap/dibela menjadi tidak korupsi," kata dia melanjutkan kicauannya.

Pembelaan membabi buta demikian, katanya, merupakan pelanggaran etika serius, dan berujung pada hukuman berat.

"Jika ada tersangka korupsi, datang dan meminta agar dia bebas, padahal dia memang korupsi, maka advokat wajib menolak membelanya," katanya.

"Saya pernah jadi advokat, saya tolak kasus-kasus korupsi, tidak ada masalah. Bukan pelanggaran kode etik advokat."

"Saya tahu, banyak advokat senior yang ternama dan juga menolak menangani kasus-kasus korupsi. Kepada mereka saya berguru."  

Pelanggaran etika serius, katanya, adalah para ahli yang memberikan pendapat sesuai pesanan kliennya. Ia katakan, para ahli itu memang akan bekerja tandem dengan profesor/ahli yang "pendapatnya akan sesuai dengan pendapatan". "Logikanya sesuai logistik."

Di negara maju, sebut dia, seorang ahli diatur ketat etika dan hubungannya dengan kasus yang dia terlibat. Ada penandatangan code of conduct. Code of conduct itulah yang sering tidak ada di kita. Juga diabaikan dalam relasi advokat-klien. Akhirnya relasi tanpa etika.

"Saya mendengar, seorang advokat menerima bayaran miliaran rupiah untuk membantu seorang tersangka korupsi. Dan itu biasa. Bagi sang advokat, yang penting dia bekerja, dia berhak dibayar. Pola pikir yang terlalu simple dan jauh dari antikorupsi.

Sebaliknya, tulis Denny lagi, bukan hanya menolak klien yang nyata-nyata korupsi, tapi minta bebas, seorang advokat pun pun harusnya tidak terima bayaran dari hasil korupsi. Advokat yang masih menerima bayaran dan tahu persis itu dari hasil korupsi, tentunya bisa dijerat dengan UU pencucian uang.

"Demikian, jadi yang kita lawan adalah advokat korup, bukan profesi advokat. Yaitu advokat yang asal bela koruptor, demi uang, demi tenar. Sekali lagi, advokat korup adalah koruptor itu sendiri. Yang membela membabi buta. Yang tanpa malu terima bayaran uang hasil korupsi," tulis Denny menutup tulisannya. (dem/rmol)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook