riaupos.co - Penyidik Kejaksaan Agung memanggil delapan saksi perkara proyek fiktif pemulihan lingkungan. Total nilai proyek itu 270 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,43 triliun.
Delapan orang yang dijadwalkan tim penyidik untuk diperiksa kemarin adalah AZ, GM, HD, YD, YP, FY, HAF dan CF. “Mereka diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi. Yang hadir hanya tiga orang,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) M Adi Toegarisman, kemarin.
Pada Jumat lalu (16/3) Kapuspenkum telah menyampaikan adanya penyidikan dalam penanganan perkara tersebut. Tim penyidik juga telah menetapkan tujuh tersangka kasus yang diperkirakan merugikan keuangan negara setidaknya Rp 200 miliar ini.
Tujuh tersangka tersebut berinisial ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Lima tersangka berasal dari PT CPI, sedangkan dua tersangka lainnya berasal dari pihak swasta. “Tim penyidik sudah menetapkan tujuh tersangka atas kasus itu,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto di Kejaksaan Agung, Jakarta.
Menurut Adi Toegarisman, semestinya perusahaan multinasional, PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) melakukan pemulihan lahan bekas eksplorasi dan eksploitasi tambang mereka di Riau. Akan tetapi, PT CPI mempercayakan proyek pemulihan lingkungan dengan menggunakan teknologi bioremediasi itu, dilaksanakan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya melalui tender dan penunjukan.
Persoalannya, lanjut Kapuspenkum, kedua perusahaan tersebut tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan itu hanya kontraktor umum, sehingga dalam pelaksanaannya, proyek tersebut fiktif belaka.
Pembayaran atas pengerjaan proyek tersebut, menurut Adi, diajukan ke Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Pengajuan pembayaran tersebut dilakukan setelah pengerjaan proyek. “Tapi, pekerjaan yang namanya bioremediasi ini fiktif. Tidak dikerjakan. Padahal, cost recovery-nya itu diajukan ke BP Migas,” tandas dia.
Kata Adi, cost recovery tersebut dikeluarkan BP Migas, sesuai perjanjian antara BP Migas dan PT Chevron Pasific Indonesia. “Chevron ini kan ada bekas tambangnya, ada limbahnya. Lingkungan bekas tambang tersebut harus dikembalikan lagi seperti semula, dan dikerjakan dalam kurun tahun 2006 sampai tahun 2011,” ujarnya.
Menurutnya, para tersangka menjalani pemeriksaan mulai pekan ini. Namun, sementara ini tersangka dari BP Migas belum ada.
Kata Jampidsus Andhi Nirwanto, penyidik telah melakukan penyidikian mengenai anggaran kegiatan pemulihan lingkungan di Riau tersebut. Kegiatan bioremediasi itu merupakan upaya untuk menormalisasi kembali tanah yang telah terkena pencemaran lingkungan akibat penambangan minyak oleh Chevron.
Setelah adanya laporan dari masyarakat dan penyidik melakukan pendalaman, ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Soalnya, kegiatan remediasi bertahun-tahun tersebut fiktif dan merugikan negara sekitar Rp 200 miliar.
Bermula Dari Perjanjian BP Migas Dan Chevron
Reka Ulang
Perkara dugaan korupsi kasus proyek fiktif pemulihan lingkungan ini, berawal dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perjanjian itu mengatur tentang biaya untuk melakukan pemulihan lingkungan (cost recovery) dengan cara bioremediasi.
Akan tetapi, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Adi Toegarisman, kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian berlangsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.
Padahal, anggaran untuk proyek bioremediasi itu sudah dicairkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.
Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai sejak Oktober 2011 berdasarkan laporan masyarakat. Kemudian, penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan pada 12 Maret 2012.
Tujuh tersangkanya adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT, dan DAF. Sprindiknya dibagi tiga. Untuk tersangka HL nomor 26/F.2/FD.1/03/2012, tersangka ER, WB dan KK Sprindik nomor 27. Sedangkan tersangka RT, AT, dan DAF Sprindik nomor 28.
PT Chevron Pasific Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang dilontarkan Kejaksaan Agung. Perusahaan multinasional ini, menampik pernyataan pihak Kejaksaan Agung bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun.
“Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,” kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.
Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejaksaan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.
Namun, Yanto menegaskan pihaknya tetap akan mengikuti segala prosedur hukum yang berlaku.
“Saya tidak tahu menahu angka-angka yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Yang pasti, kami memiliki seluruh data terkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berjalannya pemeriksaan,” kata dia.
Dia menjelaskan, kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Pada perjanjian tersebut juga ada pembagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan bioremediasi (cost recovery).
Penyidik kejagung menduga proyek pelaksanaan Bioremediasi oleh PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya tidak dijalankan atau fiktif. Sedangkan anggaran untuk proyek bioremediasi atau cost recovery yang sudah dicairkan BP Migas sebesar 23 juta dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar. Lantaran itu, tim penyidik menduga anggaran senilai Rp 200 miliar tersebut merugikan kas negara.
Permainan Pejabat Patut Ditelisik
Hendrik Siregar, Aktivis JATAM
Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Hendrik Siregar menyampaikan, kekacauan kepengurusan biaya pemulihan lingkungan (cost recovery) bekas pertambangan, patut diduga sering diselewengkan pejabat dan pihak perusahaan. “Persoalan seperti ini sudah berulang kali,” katanya, kemarin.
Bahkan, menurut Hendrik, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah berulang kali mengaudit. “Tapi, hasil audit itu didiamkan saja,” ujarnya, kemarin.
Menurut Hendrik, biaya yang dimanipulasi itu disebabkan kegagalan pemerintah dalam pengaturan cost recovery. “Bukan kali ini saja biaya pemulihan itu disimpangkan pihak-pihak terkait,” tandasnya.
Lantaran itu, dia mengingatkan agar pihak Kementerian ESDM, BP Migas dan Kementerian Keuangan menseriusi laporan BPKP.
Selain kelemahan aturan dalam cost recovery, lanjut Hendrik, pihak perusahaan tidak bisa lepas tanggung jawab. “Patut diduga, ada juga permainan pejabat dalam melakukan proyek fiktif, ada item yang dihilangkan dan dimanipulasi,” ujarnya.
Kasus seperti ini, katanya, bermula dari pembayaran perusahaan kepada pemerintah. “Biaya atau cost recovery itu diajukan ke pemerintah, inilah yang disetorkan ke Kementerian Keuangan. Kemudian, dikeluarkan untuk pemulihan. Modelnya begitu,” ujar Hendrik.
Dalam urusan seperti ini, kata Hendrik, pihak BP Migas beralasan bahwa mereka hanya mengatur distribusi dan perizinan. “Sedangkan proses kontrol dan evaluasi tidak, demikian juga ESDM,” ujarnya.
Sebesar 20-30 persen pendapatan dari sektor Migas, lanjutnya, dipotong cost recovery, maka sangat kecil yang masuk ke negara. “Saya kira, pihak perpajakan juga punya tugas memeriksa pajak para perusahaan itu. Ada 17 perusahaan migas dicantumkan BPK menunggak pajak,” ucapnya.
Jika memang aparat penegak hukum serius mengusutnya, nilai Hendrik, hal itu merupakan langkah positif, asalkan penanganannya tidak mangkrak seperti sejumlah kasus di Kejaksaan Agung. “Saya dukung upaya mengusut dan mengembalikan duit yang dikemplang, serta menghukum pelaku seberat-beratnya yang telah memanipulasi cost recovery,” katanya.
Kemudian, kata dia, mereka juga harus mengembalikan cost recovery. “Negara harus secara cermat menangani cost recovery supaya tidak dimanipulasi terus, lalu aturan dan undang-undangnya diperbaiki. Undang Undang Migas misalnya,” ucap dia.
Sudah Lama Kenapa Baru Diungkap Sekarang
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Bagi anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi, kasus proyek pemulihan lingkungan fiktif seperti ini sungguh mencurigakan. Sebab, bertahun-tahun modus itu terjadi, dari 2006 sampai 2011, namun baru sekarang diungkap.
“Pasti ada sesuatu yang perlu dipertanyakan. Apa kerjanya BP Migas dan kejaksaan selama ini? Kok baru diusut, padahal sudah berlangsung bertahun-tahun. Jangan-jangan ada kongkalikong,” tegas Andi, kemarin.
Kejaksaan Agung, lanjutnya, harus cepat mengusut kasus itu serta kasus sejenis. “Harus cepat prosesnya. Segera tahan saja para tersangkanya. Jika tak segera, justru patut dicurigai ada apa-apanya,” tandas dia.
Kemudian, kata Andi, para tersangka jangan hanya sekelas bawahan. “Mudah-mudahan tersangkanya jangan hanya korban, jangan hanya untuk menutupi tersangka yang lain,” ujarnya.
Pengusutan yang dilakukan Kejaksaan Agung, kata Andi Rio, juga harus bisa mengembalikan kerugian negara. “Apa benar kerugian negaranya hanya segitu. Bisa tidak mengembalikan kerugian negara ini,” ucapnya.
Dia menyampaikan, pimpinan dan penyidik Kejaksaan Agung tidak boleh tebang pilih dalam mengusut kasus ini. “Siapa pun yang terlibat harus diusut. Kalau mereka tidak sanggup, serahkan ke KPK saja,” sarannya.(hrm/rmol/jpnn)