JAKARTA (RP) - Wakil Presiden (Wapres) Boediono mewanti-wanti para pengusaha untuk tetap waspada terhadap kondisi perekonomian global.
Pasalnya, sejumlah indikator politik dan ekonomi masih menunjukkan potensi ketidakpastian yang bisa berimbas ke perekonomian nasional.
‘’Inilah masa transisi dari easy money, ketika uang mudah didapat di pasar, menjadi situasi finansial yang lebih ketat. Ini tantangan, hanya dengan kerja sama yang erat antara pemerintah dan kalangan pebisnis maka situasi yang semakin mengarah pada ketidakpastian ini bisa diatasi,’’ ujar Wapres saat membuka Trade Expo ke-28 di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran Rabu (16/10).
Salah satu yang menjadi perhatian Wapres adalah keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menyatakan akan mulai menarik (tapering) suntikan dana 85 miliar dolar AS per bulan ke pasar internasional-yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir-dalam waktu dekat secara bertahap.
‘’Pengurangan itu dipastikan akan menimbulkan gejolak baru di pasar,’’ katanya.
Hal lain, kata Wapres, adalah adanya masalah-masalah politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang menimbulkan gejolak pada harga minyak.
Itu semua, lanjutnya, akan memiliki pengaruh yang tidak kecil pada perekonomian dalam negeri secara keseluruhan. ‘’Tahun 2014 dan 2015 bukanlah masa suram, namun tahun-tahun itu akan memiliki banyak tantangan baru,’’ ungkapnya.
Wapres meyakini bahwa masa transisi ini akan dilalui setertib mungkin, melalui berbagai kebijakan makro yang sedang dan akan pemerintah siapkan.
Untuk kebijakan anggaran, Wapres mengingatkan, bahwa selama 40 tahun terakhir Indonesia telah menerapkan kultur kebijakan fiskal yang prudent, penuh kehati-hatian.
‘’Dalam situasi seperti saat ini, kebijakan itu tidak perlu berubah, malah harus dijaga sedapat mungkin,’’ sebutnya.
Dalam masa yang sama pula, penyesuaian berbagai indikator utama kegiatan bisnis seperti suku bunga atau kurs akan dilakukan setertib mungkin tanpa menimbulkan kejutan-kejutan berlebihan.
Indikator lain yang menjadi perhatian pemerintah adalah masalah inflasi. ‘’Pemerintah berkomitmen untuk menjaga harga kebutuhan pokok pada tingkat yang rendah,’’ sambungnya.
Ia mengakui telah terjadi peningkatan inflasi pada beberapa bulan terakhir, namun diharapkan segera mencapai titik keseimbangan dalam waktu dekat.
‘’Kita tidak mengutak-atik moneter, tapi suplai bahan pokok penting kita amankan. Inflasi yang rendah penting untuk menjaga biaya produksi, ongkos buruh dan sebagainya. Inflasi juga sangat berpengaruh bagi pelaku di sektor keuangan,’’ terangnya.
Untuk itu, pemerintah meminta pengusaha menyatukan pandangan dalam hal memperbaiki sektor riil. Kebijakan yang terus dilakukan pemerintah antara lain, berupaya menurunkan biaya logistik.
‘’Ini sangat penting karena dengan biaya logistik yang murah, ekspor kita bisa bersaing, yang berarti perbaikan daya saing. Hal ini juga sebuah pertahanan terhadap impor yang berlebihan,’’ tuturnya.
Menteri Perdagangan Gita Wiryawan mengaku pemerintah selalu berusaha menekan angka impor. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa impor masih perlu dilakukan mengingat kebutuhan dalam negeri terus meningkat sementara pasokan tidak memadai.
‘’Nah, ini bagaimana, konsumsi terus meningkat sementara pasokan kurang. Jadi kebijakan kita bukan hanya swasembada tapi juga membuat eksportir leih efektif dan efisien,’’ katanya.
Gita mengaku kebijakan-kebijakan yang selama ini diterapkan sudah pro rakyat. Artinya, kebijakan-kebijakan tersebut sudah mampu memberikan manfaat secara langsung terhadap ekonomi masyarakat.
Terkait banyaknya kebijakan impor, Gita berdalih hal itu tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan saja, tetapi juga Kementerian yang lain. ‘’Selama itu untuk kepentingan masyarakat tentu akan kita lakukan,’’ jelasnya.(wir/ken/fas)