MAJELIS HAKIM DIMINTA TOLAK GUGATAN

Anak Tak Mau IBU Diceraikan Ayah

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 17 Agustus 2012 - 00:54 WIB

Anak Tak Mau IBU Diceraikan Ayah
Siti Norma br Simanungkalit bersama anaknya Richard Sitohang usai mengikuti persidangan di PN Sibolga, Selasa (14/8).(FOTO : FREDDY)

Riau Pos Online - Setelah 7 tahun pisah ranjang, Maruli Sitohang (42) warga Desa Sibuttuon, Balige, menggugat cerai istrinya, Siti Norma br Simanungkalit. Gugatan ini dilayangkan ke PN Sibolga melalui jasa kuasa hukumnya J Endah Siahaan SH.

Selasa (14/8), persidangan yang ke lima kalinya pun digelar. Sidang kali ini mengagendakan keterangan saksi-saksi, salah satunya Richard Sitohang (13), anak kandung hasil perkawinan Maruli Sitohang dengan Siti Norma br Simanungkalit.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Richard saat diwawancarai usai persidangan, dirinya mengaku tidak ingin ayah dan ibunya bercerai. Meskipun orangtuanya sudah lama pisah ranjang, namun dia tetap ingin mempunyai status yang jelas. “Maila iba dang mar bapa, boa hatani halak (malulah kita tidak punya ayah, bagaimana kata orang),” tutur Ricard di PN Sibolga, Selasa (14/8). Saat dipertanyakan hubungannya dengan sang ayah, Richard mengaku biasa-biasa saja.

Richard bercerita, bulan Desember 2011 lalu dirinya terakhir kali menemui sang ayah yang berada di Balige. Kebetulan saat itu menjelang Natal, ayahnya memberikan uang Rp400.000 sebagai ongkosnya pulang dan untuk membeli baju baru. Sementara Siti Norma br Simanungkalit yang saat itu mendampingi anaknya menambahkan, bahwa dia dan anak keduanya Richard sejak 7 tahun lalu sudah berpisah dengan suaminya dan tinggal di Desa Lobunagor, Kecamatan Sitahuis, Tapteng.

Hingga gugatan perceraian ini, Maruli Sitohang tidak pernah memberikan biaya hidup kepada mereka berdua. “Kami tidak pernah diberi sepeserpun sejak berpisah, lalu sekarang datang gugatan perceraian,” ujar Siti menimpali. Diterangkannya, sejak pernikahan mereka pada Juli 1998 lalu di salah satu Gereja di Jakarta Timur, kehidupan mereka hidup rukun, meskipun hanya hidup pas-pasan. Namun dari awal pernikahan mereka, ibu mertuanya tidak setuju mempunyai menantu Siti.

“Dari awal rencana pernikahan kami, ibu mertua saya tidak setuju. Akhirnya kami memutuskan untuk menikah di Jakarta yang akhirnya dikarunia dua orang anak,” imbuhnya. Lebih lanjut diterangkan Siti, pada awal tahun 2005 lalu mereka pulang ke Desa Lobunagor. Kebetulan saat itu orangtua Siti meninggal. Lalu mereka sekeluarga pulang kampung. Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke rumah mertuanya yang berada di Desa Sibuttuon, Balige. Namun saat itu sambutan ibu mertuanya sangat kurang baik. Berbeda dengan mertuanya yang laki-laki. Bahkan dirinya sering diomeli sama ibu mertuanya tanpa ada salah yang jelas.

“Beberapa hari kami di rumah mertuaku, tiba-tiba Maruli disuruh ibunya pulang sendiri ke Jakarta. Karena tidak tahan selalu diomeli, akhirnya dua minggu setelah itu saya dan kedua anak saya menyusulnya ke Jakarta,” terang Siti Norma.

Katanya, setelah mereka tiba di rumah kontrakannya di Jakarta, rumah yang sebelumnya berisi perabotan dan peralatan rumah tangga sudah kosong. Dan saat itu juga suaminya sudah pulang ke Desa Sibuttuon tanpa memberitahu kabar sebelumnya.

“Semua isi rumah sudah dijualnya, padahal sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari suami saya itu,” ungkap Siti. Setelah bertahan di Jakarta selama hampir 2 minggu, Siti mengambil keputusan untuk pulang. Kebetulan saat itu juga suaminya menyarankan mereka untuk pulang ke Desa Sibuttuon. Sesampainya mereka di Desa Sibuttuon, mengingat mertuanya yang selalu mengomelinya, Siti meminta kepada Maruli untuk pisah rumah dengan mertuanya dan menapaki hidup mandiri. Namun permintaan itu tidak disetujui mertuanya. Dengan terpaksa Siti pun bertahan.

Satu tahun berlalu, Siti yang kerap diomeli akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Desa Lobunagor, Sitahuis bersama kedua anaknya. Sementara Maruli tinggal bersama orangtuanya di Desa Sibuttuon, Balige. Namun sekitar beberapa bulan pisah, Maruli menjemput putrinya Ribka br Sitohang (14) dari rumah dan dibawa ke Desa Sibuttuon.

Pengakuan Siti sendiri, meskipun mereka berpisah rumah, dirinya sering menjumpai suaminya ke Desa Sibuttuon dan hubungan mereka tetap baik. Namun semenjak ayah mertuanya meninggal tahun 2009 lalu, dirinya enggan untuk menemui suaminya. Sebab selama ini ayah mertuanya lah yang selalu membela Siti.

“Sebelumnya pada awal-awal tahun 2011 lalu, Maruli pernah mempertanyakan hubungan kami ini. Lalu saya bilang saya selalu menunggunya sampai kapanpun. Sebab saya harapkan kedua anak kami akan mempersatukan kami nanti. Saya pasti rindu putriku, dan Maruli pasti rindu putranya,” ujar Siti.

Namun Siti tiba-tiba dikagetkan setelah ada gugatan cerai dari Maruli. Dirinya yang saat itu merasa kecewa telah digugat mencoba membicarakan hal ini kepada Maruli. Akan tetapi usahanya tidak berhasil. “Setelah Maruli diangkat menjadi PNS tahun 2011 lalu, malah tiba-tiba menggugat saya cerai. Anehnya pakai kuasa hukum pula. Bukannya dia sendiri yang datang saat sidang. Bagaimana mental kedua anak saya nanti?,” ucap Siti kesal.

Masih dikatakan Siti, dirinya bukan melihat status suaminya yang sudah PNS, melainkan status anaknya kelak. Bagaimana aku sanggup melihat anakku tidak punya bapak, dan putriku tidak punya ibu. Kasihan anak-anak ini,” tuturnya sedih.

Untuk itu Siti sangat berharap kepada majelis Hakim agar mempertimbangkan gugatan cerai yang diajukan Maruli. “Saya kerja sebagai petani, tapi aku sanggup menghidupi anakku. Tapi tolonglah anakku jangan sampai malu di tengah-tengah masyarakat. Kami orang batak yang punya adat,” harap Siti. (Cr-1/nasa/ms/rpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook