JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Netflix terus menuai kontroversi sejak menghadirkan layanannya di Indonesia. Selain masalah pajak yang diminta pemerintah, polemik lainnya adalah banyaknya konten negatif yang ada di layanan Over The Top (OTT) itu.
Untuk pajak, Netflix diketahui masih belum bisa menunaikan kewajibannya lantaran bentuknya yang belum jelas di Tanah Air. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik No 80/2019 yang baru, pemain seperti Netflix harus memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Peraturan ini menjabarkan tentang kewajiban perpajakan bagi perusahaan atau orang asing yang berbisnis di Indonesia. Baik itu perusahaan konvensional maupun yang beroperasi secara digital.
Sebagai penyedia layanan konten digital, Netflix juga harus mengikuti aturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia. Seperti badan hukum dan kantor mereka harus tersedia di Indonesia.
Dengan belum memiliki BUT, Netflix pun bebas melenggang dari aturan pajak. Bahkan tidak pernah melaporkan keuangan perusahaannya. Mengutip data Statista, Netflix memiliki 481.450 pelanggan di Indonesia pada 2019. Bahkan pelanggannya diperkirakan naik dua kali lipat pada 2020 ini menjadi 906.800.
Kendati demikian, pembayaran oleh pelanggan itu mengalir deras ke anak perusahaan Netflix di Belanda, yaitu Netflix International B.V.
Dengan asumsi paling konservatif, misalnya 481.450 pelanggan di Indonesia berlangganan paket paling murah, maka Netflix B.V. meraup Rp 52,48 miliar per bulan. Artinya, selama setahun Indonesia sudah merugi Rp 629,74 miliar.
Menyoal pajak, anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi menyatakan, Indonesia seharusnya bisa belajar dari Singapura. Tak perlu jauh-jauh sampai ke Eropa yang memiliki 23 Undang-undang (UU) Digital. Singapura dengan 9 UU Digital dikatakannya bisa dijadikan contoh untuk mengutip pajak dari OTT semisal Netflix.
“Potensi kerugian itu dihitung kira-kira berdasarkan jumlah subscriber. Ini semua kira-kira. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak perlu susah susah studi banding. Contek saja Singapura, jadi mereka bayar pajak dari subscription, bukan ke BUT. Siapa subscriber dia harus bayar di depan, tak peduli BUT ada di mana,” ujar Bobby Rizaldi saat diskusi terkait Polemik Netflix di Jakarta, Kamis (16/1).
Bobby melanjutkan, harus ada kesamanaan persepsi dari pemerintah. Sebab, bukan Indonesia yang susah untuk membuat Netflix patuh membayar pajak. Tapi, perusahaan seperti Netflix adalah perusahaan masking, sampai BUT-pun, Netflix dikatakan tak akan untung.
“Namanya BUT itu kayak Gojek, Tokopedia, Google, Facebook, dan lainnya. Sampai dunia keputer, kebalik tak akan bayar pajak secara BUT. Kenapa? karena kalau dulu pajak itu dibayar kalau perusahaan dapat untung. Perusahaan-perusahaan ini namanya masking, masking itu tidak akan untung karena mereka hanya bakar duit,” sambungnya.
Menurut Bobby, perusahaan masking ini untuk mencari traffic. Traffic pengguna, perilaku konsumen untuk dikelola sedemikian rupa menjadi perusahaan big data. Uangnya ada di perusahaan big data, bukan di Netflix secara langsung jika jadi BUT.
Sebagai informasi, Singapura pada 1 Januari mulai menarik pajak atas penjualan layanan para perusahaan digital. Singapura mewajibkan pajak bagi penyedia layanan digital luar negeri dengan omzet global tahunan lebih dari USD 1 juta. Penyedia layanan yang menjual layanan digital senilai lebih dari USD 100 ribu juga akan kena pajak.
“Netflix nanti akan memutuskan apakah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak sudah termasuk di dalam harga layanan. Jadi dikenakan di hulu bukan di hilir,” tegas Bobby.
Editor : Deslina
Sumber: jawapos.com