JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Review tahunan terhadap 124 produk RI yang masuk dalam fasilitas generalized system of preferences (GSP) oleh AS menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah. Banyak produk Indonesia yang diprediksi akan dikeluarkan dari fasilitas bebas bea masuk itu.
Ada beberapa faktor yang membuat pemerintah AS melakukan evaluasi. Di antaranya terkait gerbang pembayaran nasional (GPN) dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau yang dikenal dengan hal paten.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, dua hal tersebut dinilai AS menghambat produknya masuk Indonesia. ’’Aturan GPN dan persoalan paten dianggap hambatan nontarif oleh AS,’’ jelas Bhima, Ahad (15/7).
Dalam aturan GPN disebutkan bahwa lembaga switching wajib memenuhi syarat 80 persen saham dimiliki domestik. Kemudian, logo GPN dinilai memberatkan dan menghambat bisnis lembaga perantara keuangan AS seperti Visa dan MasterCard.
’’Soal hak kekayaan intelektual fokus keberatan utama ada di UU Paten pasal 20 di mana perusahaan pemegang paten wajib membangun industri atau pabrik di Indonesia. Protes datang dari kalangan farmasi dan perusahaan IT,’’ urainya.
Karena itu, Bhima menekankan sebaiknya upaya lobi Indonesia terhadap AS ditingkatkan agar fasilitas GSP tetap dipertahankan. Dia menilai, jaminan perpanjangan masa kontrak Freeport hingga 2041 bisa menjadi salah satu poin penawaran tersendiri. ’’Pemerintah Indonesia sudah menjamin Freeport kontraknya sampai 2041 alias diperpanjang. Itu menaikkan bargain,’’ katanya.
Namun, jika nanti negosiasi antara kedua pihak sudah mentok, cara lainnya adalah kompromi dengan mempermudah bisnis dan produk AS ke Indonesia. Meski begitu, upaya kompromi itu seharusnya juga tidak merugikan perusahaan domestik Indonesia sendiri. ’’Jangan sampai ekspor kedelai dan daging sapi AS banjir di sini. Kan blunder itu namanya,’’ ujarnya.(ken/c17/oki/jpg)