JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah diminta tidak kaku dalam menerapkan aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJAMSOSTEK. Masyarakat atau pekerja sebaiknya diberikan hak untuk memilih. Apakah mencairkan uang JHT saat kehilangan pekerjaan. Atau tetap menimpannya di BPJAMSOSTEK hingga usia 56 tahun.
Usulan tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.
"Uang JHT itu hak pekerja. Kalau mau diambil, ya itu hak dia," katanya, kemarin (13/2).
Trubus menuturkan perlu dibuat regulasi yang sifatnya sukarela untuk mencairkan atau tetap menyimpan dana JHT tersebut.
"Mau menyimpan atau menariknya, itu hak pekerja. BPJAMSOSTEK sebatas memberikan penawaran," tuturnya.
Menurut Trubus BPJAMSOSTEK harus memberikan informasi yang terbuka dan pasti. Yang paling krusial adalah soal keuntungan atau benefit ketika dana itu tetap dititipkan ke BPJAMSOSTEK hingga usia 56 tahun. Misalnya informasi kepastian hasil pengelolaannya. BPJAMSOSTEK harus terbuka setiap tahun dana JHT yang masih dititipkan ke BPJAMSOSTEK akan berkembang sekian persen. BPJAMSOSTEK harus bisa meyakinkan pekerja bahwa dana yang mereka kelola setiap tahunnya berkembang berapa persen. Jadi cara komunikasinya hampir sama dengan petugas bank yang menawarkan deposito ke nasabahnya. Bank bisa menjelaskan dana deposito yang disimpan setiap tahun berkembang sekian persen.
Dia memahami jika aturan JHT yang baru tersebut menuai polemik di masyarakat. Sebab aturan itu merugikan buruh yang berhenti bekerja. Apakah itu karena dipecat, PHK, atau alasan lainnya. Sampai saat ini dia tidak pernah mendengar adanya jaminan dari BPJAMSOSTEK atau pemerintah, dana yang ditempatkan itu akan berkembang seberapa besar. Sehingga menguntungkan ketika dihadapkan dengan tren inflasi atau penurunan nilai uang setiap tahunnya.
Selain itu Trubus mengatakan minimnya informasi dari BPJAMSOSTEK maupun pemerintah, memicu adanya tudingan-tudingan miring. Seperti apakah kebijakan ini diambil karena BPJAMSOSTEK tidak memiliki uang tunai untuk membayar JHT para pekerja yang terkena PHK. Seperti diketahui di tengah pandemi Covid-19 banyak pekerja diberhentikan dari tempat kerjanya.
Kemudian muncul tudingan lagi jangan-jangan JHT tidak boleh diambil sampai usia 56 tahun, karena terjadi salah kelola. Baginya salah kelola dalam skema asuransi seperti itu bukan sesuatu yang mustahil. Publik baru saja dihadapkan dengan mega skandal asuransi di Jiwasraya dan Asabri. Jangan sampai kasus di dua perusahaan asuransi itu juga terjadi di BPJAMSOSTEK yang mengelola uang Rp536 triliun lebih.
Asisten Deputi Humas BPJAMSOSTEK selaku Pps Depdir Humas dan Antar Lembaga Dian Agung Senoaji mengatakan, mereka sebagai penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan siap melaksanakan regulasi pembayaran manfaat JHT. "(Tujuannya, red) untuk kesejahteraan peserta saat mencapai usia pensiun," katanya.
Dian menuturkan BPJAMSOSTEK berkomitmen memastikan pengelolaan dana JHT dilaksanakan secara transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuannya untuk memberikan imbal hasil yang optimal. Dia mengatakan tingkat imbal hasil yang diupayakan BPJAMSOSTEK adalah minimal setara rata-rata bunga deposito bank pemerintah.
Dia mengatakan bagi pekerja yang terkena PHK atau kehilangan pekerjaan, ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini tidak ada tambahan iuran yang dipungut dari pekerja maupun pemberi kerja. Besaran JKP ini adalah 45 persen dari upah yang dilaporkan ke BPJAMSOSTEK untuk tiga bulan pertama. Kemudian susut menjadi 25 persen upah untuk tiga bulan berikutnya.
Dian mengatakan besaran iuran perlindungan jaminan sosial untuk pekerja berbeda-beda. Untuk program JHT iurannya 3,7 persen oleh pemberi kerja dan 2 persen dari pekerja. Kemudian program jaminan pensiun urannya 2 persen dari pemberi kerja dan 1 persen dari pekerja. Untuk program jaminan kecelakaan kerja besarnya 0,24 persen sampai 1,74 persen yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Begitupun dengan jaminan kematian iurannya 0,3 persen dibayar oleh pemberi kerja.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan, sebagai dana yang diambil dari pekerja, maka pada hakikatnya program dana JHT adalah hak pekerja. Jika hak untuk menggunakan dibatas harus sampai berusia 56 tahun, maka peraturan ini akan memberatkan pekerja yang membutuhkan jaring pengaman sosial di waktu yang serba sulit saat ini. "Peraturan itu harus dicabut," desaknya.
Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Agustus 2021 ada 1,49 juta kasus klaim JHT didominasi oleh korban PHK dan pengunduran diri dengan peserta rentang di bawah 30 tahun atau usia produktif. Artinya, lanjut dia, pekerja yang mencairkan JHT adalah mereka yang memang butuhkan, karena di-PHK dan mundur dari perusahaan disebabkan dampak pandemi. Mereka menggunakan dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru. "Kalau aturan JHT kini hanya bisa dicairkan saat usia pensiun, jaring pengaman untuk mereka yang di-PHK belum ada," sebut Mufida kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.
Bagi Mufida, peraturan tersebut tidak sensitif atas kondisi masyarakat saat ini. Setelah pekerja tersebut mengalami PHK dengan kesempatan kerja yang semakin sulit, serta kebijakan pengusaha yang lebih memilih menjadikan pekerjanya sebagai pegawai kontrak (PKWTT), maka dana JHT tersebut merupakan harapan terbesar dari pekerja sebagai dana untuk menyambung hidup dan modal usaha.
Menurut dia, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana uang pesangon dari pengusaha sangat sulit dan perlu waktu yang lama bagi pekerja untuk mendapatkannya.
"Oleh karena itu JHT menjadi harapan terbesar karena langsung cair setelah 1 bulan masa tunggu," kata dia.
Mufida mengatakan, peraturan itu merupakan lanjutan kebijakan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja. JHT dalam perspektif pemerintah adalah dana yang bisa diatur-atur oleh pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Peraturan tersebut semakin menegaskan filosofi dan politik kebijakan ketenagakerjaan pemerintah saat ini yang mementingkan ekonomi. Dimana dengan perlambatan pencairan JHT tersebut, maka akan menyebabkan semakin besarnya dana terparkir di BP Jamsostek. Hal itu tentu saja menyebabkan kecurigaan yang semakin besar kepada pemerintah.
Politikus PKS itu menambahkan, dana itu hakikatnya tetap milik pekerja. Maka, kebijakan tentang proses penggunaan dana peserta BPJS Ketenagakerjaan harus berpihak kepada pekerja sebagai pemilik dana utama. "Jika temen-teman pekerja merasa dirugikan dengan permenaker tersebut, kami dukung untuk dicabut," jelasnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz Wuhadji menyatakan bahwa pelaku usaha menyambut baik kebijakan pemerintah mengenai JHT.
Menurut Adi, kebijakan tersebut adalah untuk mengembalikan tujuan substantif JHT yaitu perlindungan atau jaminan hari tua bagi pekerja yang sudah tidak produktif atau tidak bekerja agar mendapat dana untuk hari tuanya. "Dengan demikian program JHT sudah tepat sebagai program jangka panjang," ujar Adi, kemarin.
Selain itu, Adi juga menambahkan bahwa kebijakan JHT yang baru juga untuk menghindari double manfaat antara JHT dengan bantuan tunai JKP dan sekaligus untuk menjaga kecukupan JHT dimaksud. Namun di sisi lain, Adi menilai bahwa hal tersebut perlu diikuti dengan koordinasi, komunikasi, dan sosialisasi yang komprehensif.
"Itu sangat diperlukan agar tercapai tujuan dan tepat sasaran dari pelaksanaan JHT. Tentu saja kerja sama tripartit juga sangat penting untuk dilakukan," tegasnya.
Seperti diketahui pemerintah mengubah ketentuan pencairan JHT melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (2/2022) tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Di dalam aturan ini, pekerja yang terkena PKH atau kehilangan pekerjaan, harus menunggu usia 56 tahun untuk mencairkan JHT. Ketentuan ini dikecualikan jika tenaga kerja itu meninggal atau mengalami cacat tetap.(wan/lum/agf/jpg)