JAKARTA - Harga tiket pesawat terbang siap-siap naik awal tahun depan. Perusahaan maskapai tertekan akibat pelemahan Rupiah dalam beberapa bulan belakangan ini sampai di kisaran 12 ribu per dolar Amerika Serikat (USD) sementara 70 persen ongkos produksi industry ini dibayar dengan USD.
Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Arif Wibowo, mengatakan pihaknya sudah menyampaikan usulan kenaikan tarif ini kepada regulator yaitu Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), beberapa waktu lalu setelah Rupiah terus menerus terdepresiasi.
"Kami belum dapat respon formalnya dari pemerintah. Tetapi secara informal pada prinsipnya disetujui walaupun belum tahu berapa kenaikannya," ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Dari pelemahan rupiah saja, kata Arif, dampaknya memang sudah cukup signifikan terhadap bisnis airlines karena pelemahannya hampir mencapai 30 persen. Itu diukur dari nilai kurs Rp 9.500 sampai Rp 10 ribu per USD pada awal tahun ini saat semua maskapai nasional menentukan asumsi bisnis.
Penguatan USD terhadap rupiah yang terjadi saat ini memang tidak bisa diprediksi sehingga tidak ada langkah antisipasi. Sementara untuk menaikkan harga tiket pesawat secara inisiatif dari masing-masing maskapai tidak bisa dilakukan begitu saja sebab terbentur aturan batas atas.
"Untuk mengurangi kerugian caranya memang menaikkan harga jual. Tapi tidak bisa kita lakukan begitu saja karena ada batas atas yang sudah ditentukan," terusnya.
Dari pelemahan rupiah yang diasumsikan sebesar 30 persen itu, kata Arif, secara tidak langsung membuat ongkos produksi maskapai naik hampir 30 persen juga. Terutama airlines domestic yang memang masih meraup pendapatan dalam denominasi Rupiah. Sebaliknya, hampir 70 persen komponen belanja untuk bisnis ini menggunakan USD.
"Seperti bahan bakar misalnya, memang bisa saja beli menggunakan rupiah. Tapi saat impornya kan menggunakan USD jadi kita belinya juga sudah kena kenaikan harga akibat kenaikan ongkos impor itu," terangnya.
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, Herry Bakti Gumay, mengatakan pihaknya belum bisa mengumumkan berapa besar kenaikan harga tiket pesawat yang disetujui. Masih butuh waktu untuk mengumumkannya.
"Kebetulan saya juga baru datang dari luar kota. Perkembangan terbarunya masih harus saya cek di kantor. Tapi ada usulan (dari INACA) ya akan kita perhatikan. Berapa (yang disetujui kenaikan)nya belum tahu," ucapnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), Emirsyah Satar, sempat mengatakan bahwa setiap pelemahan rupiah sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan ongkos operasional maskapai sebesar 6 persen.
Pengamat Industri Penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan pelemahan rupiah memang otomatis meningkatkan beban produksi maskapai.
"Dengan pelemahan rupiah seperti sekarang ya mau tidak mau (naik harga). Dari biaya 70 persen (produksi yang menggunakan denominasi USD) itu naik 25 persen. Itu biaya naik net otomatis 12 persenan. Sedangkan biaya rupiahnya juga kena tekanan inflasi. Jadi bersihnya itu ujung-ujungnya dengan asumsi rupiah turun 25 persen maka total cost naik 15 persen sampai 17 persen. Airline kecil bisa kena sampai 20 persen," paparnya, kemarin.
Sebaliknya, harga bahan bakar saat ini di pasaran masih di sekitar USD 110 per barel walaupun sempat turun belum lama ini. Namun harga bahan bakar, menurut Gerry, belum menjadi alasan untuk naik harga sehingga alasan paling utama adalah akibat depresiasi rupiah.
"Kalau harga crude oil bertahan ya tetap saja airline butuh naikkan harga tiket. Saya tidak melihat butuh global adjustment selama crude oil tidak jebol ke USD 120 per barel. Jadi efek rupiahnya yang mengharuskan adanya adjustment," pikirnya. (gen)