Indonesia Paling Sinkron Jaga Stabilitas Keuangan

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 13 September 2018 - 13:23 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sejumlah kebijakan Amerika Serikat (AS) sukses menekan uang negara-negara berkembang. Tidak hanya itu, apresiasi mata uang Amerika Serikat itu menyebabkan ekonomi emerging market murat marit. Misalnya, Argentina dan Turki tumbang.

Nilai tukar rupiah bahkan pekan lalu sudah menyentuh level psikologis di kisaran Rp15 ribu per dolar AS. Nomura Holdings Inc mengeluarkan analisis terbaru mengenai negara-negara emerging market rentan terhadap krisis nilai tukar. Ada tujuh negara rentan terhadap krisis, meliputi Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki, dan Ukraina.

Untungnya, Indonesia tidak termasuk ke dalam tujuh negara rentan krisis tersebut. “Lima dari tujuh negara rentan krisis itu sudah dalam krisis mata uang atau sudah dalam penanganan Dana Moneter Internasional (IMF), yang meninggalkan Afrika Selatan dan Pakistan sebagai yang menonjol,” tulis Nomura sebagaimana dilansir Bloomberg, Selasa (11/9).
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dalam riset dengan metode Democles itu Nomura menyebut hasil itu sangat penting. Alasannya, investor akan fokus pada risiko investasi di negara emerging market. Riset itu juga menuturkan daftar panjang negara-negara dengan tingkat risiko krisis terendah dan terbesar, dengan mengkaji berbagai faktor termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan penutupan impor.

Nomura holdings memperkirakan pengaruh krisis masih akan terasa hingga 12 bulan ke depan. “Hasil yang kami capai sangat menggembirakan, tetapi mengingat keterbatasan yang melekat pada sistem peringatan dini, akan sangat bodoh untuk membuat klaim berlebihan,” kata mereka.

Namun begitu, Indonesia tidak masuk ke dalam tujuh negara rentan krisis seperti diriset Nomura. Sebaliknya, Indonesia disebut dalam delapan negara dengan risiko krisis terendah bersama Brazil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.

Sementara President Director Center for Banking Crisis (CBC) Deni Daruri menyebut perekonomian Indonesia mengungguli India, Turki, dan Argentina. Pemicunya, dari sisi regulasi sektor keuangan lebih rapi dan sinkron. 

Dengan begitu, tidak perlu kekhawatiran krisis moneter 1998 bakal jauh panggang dari api. Artinya, sepanjang tahun ini, Indonesia bebas dari jilatan api krisis. ”Indonesia merupakan paling singkron dari sisi kebijakan dalam menjaga stabilitas sektor keuangan, dibanding dengan Amerika Serikat (AS) sekali pun,” tutur Deni.

Deni menjelaskan Presiden AS Donald Trump berusaha dolar AS (USD) melemah. Namun, Gubernur Bank Sentral AS justru menciptakan kebijakan moneter sebaliknya. Di mana, kebijakan moneter tersebut membuat dolar AS mengalami apresiasi. Dengan begitu, langkah Trump mendongkrak daya saing perekonomian AS menjadi sirna.

 ”Hal sama terjadi di India, Turki, dan Argentina. Di mana, selalu terlihat ada perbedaan cenderung berlawanan antara kebijakan moneter, keuangan, dan fiscal,” urai Deni.

Di India, Argentina dan Turki, lanjutnya, kebijakan moneter tidak peduli dengan pelemahan mata uangnya. Padahal, defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja, jauh lebih besar ketimbang Indonesia. ”Harmonisasi kebijakan di Indonesia justru semakin mantap dengan terpilihnya Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) baru,” tegasnya.

BI bilang Deni berencana mengerek suku bunga acuan (BI-7 Days Repo Reserve Rate) ketika Turki mengalami devaluasi mata uang Lira. Selain itu, pemerintah mengerem impor barang konsumsi dan barang modal untuk keperluan konsumsi, pemakaian biofuel, dan upaya peningkatan ekspor seperti peningkatan ekspor batubara. ”Itu, merupakan kebijakan harmonis yang tidak terlihat di AS, Turki, Argentina, dan India,” urainya.

Deni menjelaskan, saat ini perekonomian Indonesia berbeda dengan periode 1997 silam. Kini, OJK telah menjalankan pengendalian risiko alokasi kredit dengan saksama dengan memantau tiga variable utama yaitu peningkatan standar pemberian kredit (lending standards), peningkatan hambatan kredit (credit constrains), serta peningkatan harga resiko (price of risk).

”Upaya peningkatan dari price of risk dan peningkatan lending standards terbukti sukses menetralisir peningkatan risk appetite. Efeknya, peningkatan credit demand dan peningkatan credit supply hanya meningkatkan credit volume dan tidak meningkatkan risiko dari alokasi kredit (riskiness of credit allocation),” bebernya.(dai/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook