Sektor Jasa Belum Optimal

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 12 Oktober 2013 - 07:32 WIB

JAKARTA (RP) - Peluang menggarap industri jasa di tanah air pada 2014 mendatang masih sangat terbuka lebar. Kesempatan menggiurkan terutama ada pada sektor jasa transportasi, pariwisata, hingga medis.

Karena belum maksimal tergarap, potensi hilangnya nilai keuntungan pada industri jasa mencapai 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp111,43 triliun setiap tahunnya.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Suryo Bambang Sulisto mengatakan, opportunity loss atau hilangnya peluang di industri jasa tersebut cukup banyak.

Misalnya dalam hal transportasi eskpor-impor, semua pelaku ekonomi di Indonesia masih menggunakan kapal asing.

‘’Bayangkan kita ekspor 450 juta ton batu bara setiap tahunnya dengan kapal asing. Padahal kalau 20 persen saja diangkut kapal dalam negeri, itu sudah miliaran dolar. Belum lagi kita juga ekspor nikel hingga crude palm oil (CPO),’’ ungkapnya Kamis (10/10).

Bambang menambahkan, Indonesia tak hanya kalah dalam hal sektor jasa transportasi, namun juga kesehatan.

‘’Setahun kita kehilangan 3 miliar dolar AS karena orang lebih suka berobat ke Singapura dibandingkan rumah sakit di dalam negeri,’’ tuturnya.

Lemahnya sektor jasa juga nampak pada transaksi neraca jasa yang kembali mengalami defisit pada kuartal kedua 2013, yakni 3 miliar dolar AS. Defisit ini seiring peningkatan nilai impor jasa sebesar 8,7 miliar dolar AS. Sebaliknya ekspor jasa stagnan di 5,6 miliar dolar AS.

Tercatat, defisit tersebut meningkat dibandingkan dengan kuartal pertama 2013 yang ada di sekitar 2,48 miliar dolar AS.

Merujuk konsolidasi data Bank Indonesia, defisit neraca jasa terbesar terjadi pada sektor transportasi yang berkontribusi hingga 2,38 miliar dolar AS, atau sekitar 77 persen. Defisit neraca jasa tersebut ikut menekan balance of payment atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani memaparkan, ada dua faktor terbesar yang menyebabkan neraca jasa terus menerus defisit.

Yakni ekspor-impor yang masih menggunakan kapal asing. Padahal Indonesia sudah menganut azas cabotage atau kewajiban menggunakan kapal berbendera dalam negeri untuk pelayaran domestik.

‘’Tapi nyatanya tidak jalan. Yang ada kapal asing tapi berbendera Indonesia, jadi kan tetap bayar dolar,’’ ujarnya.

Kedua adalah permasalahan pariwisata di Indonesia. Selama ini orang kelas menengah atas cenderung memilih berlibur ke luar negeri ketimbang mengunjungi obyek pariwisata di negeri sendiri.(gal/sof/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook