JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada akhirnya membawa persoalan baru. Pemerintah harus mencari cara sebagai upaya penyelamatan BPJS Kesehatan dan kelangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara memandang, beberapa solusi bisa diambil oleh pemerintah untuk melakukan penyelamatan BPJS Kesehatan yang terus menerus defisit. Pertama, perlu adanya penghematan di internal manajemen BPJS. Dengan langkah itu diharapkan bisa ditemukan adanya pembengkakan, salah satunya di lini biaya operasional.
Kedua, Bhima memandang bahwa persoalan BPJS Kesehatan berasal dari adanya ketidakpatuhan peserta dalam membayar iuran. Kondisi itu membuat adanya celah yang dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban pembayaran iuran.
‘’Bisa dimulai dari perusahaan-perusahaan yang understatement. Jadi tidak melaporkan semua karyawannya ke BPJS Kesehatan. Di situ ada celah,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, Rabu (11/3).
Ketiga, harus ada upaya pencocokan data perserta PBI. Kemudian, kepatuhan peserta mandiri juga harus dikejar.
Menurut Bhima, iuran BPJS Kesehatan tidak harus dinaikkan. Sebab, uang yang digunakan masyarakat untuk membayar iuran justru bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bersifat konsumsi agar dapat menggenjot aktivitas ekonomi. Mengingat, kondisi ekonomi juga masih tertekan dan berdampak pada konsumsi rumah tangga yang melambat.
Terkait dengan keberlangsungan JKN, Bhima menyebut bahwa persoalan defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, kondisi yang sama juga pernah dialami oleh National Health Service (NHS) di Inggris.
‘’Karena memang ini program sosial, asuransi sosial. Beda dengan asuransi swasta. Yang jadi permasalahan adalah bagaimana likuditas tetap lancar dan agar peserta yang mandiri dan perusahaan-perusahaan ini patuh. Agar terjadi keadilan,’’ urai Bhima.
Dia mengimbau agar pemerintah menutupi defisit BPJS Kesehatan dengan menaikkan pajak orang kaya dan menempuh kebijakan sin tax atau pajak dosa. Menurut Bhima, kontribusi pajak orang-orang dengan penghasilan yang amat tinggi ini hanya sekitar 0,8 persen dari total penerimaan pajak. ‘’Itu bisa dimasukkan untuk nambal defisit BPJS,’’ imbuhnya.
Kondisi ekonomi yang tertekan pun disebut Bhima bukan menjadi halangan dalam memajaki orang-orang kaya tersebut. Mengingat, banyak juga konglomerat yang tidak patuh dan tak mendeklarasikan hartanya melalui tax amnesty.
Terkait dengan sin tax, lanjut Bhima, sebenarnya merupakan perluasan dari cukai. Selama ini, Indonesia baru mengenakan cukai pada tiga produk yakni alkohol, ethil alkohol, dan rokok. Padahal, di negara-negara ASEAN, pengenaan cukai sudah diterapkan pada lebih dari 10 hingga 15 barang kena cukai. ‘’Itu bisa jadi potensi penerimaan yang digunakan untuk mengganti defisit BPJS dalam jangka panjang tanpa harus membebani APBN ataupun masyarakat sebagai pembayar iuran,’’ imbuhnya.
Bhima memerinci, beberapa barang yang potensial dikenakan cukai itu yakni kendaraan bermotor, minuman berpemanis, makanan tinggi kandungan garam, permen, dan masih banyak lainnya. ‘’Ini maksudnya adalah barang-barang yang berpotensi mengganggu kesehatan dan menjadi beban BPJS, ini bisa dikenakan,’’ tambahnya.
Nantinya, earmarking atau uang dari pungutan cukai itu dikumpulkan pemerintah dan digunakan fokus untuk menambal defisit BPJS. Apabila barang-barang itu dikenakan cukai, tentu akan berdampak pada tekanan inflasi.
Tetapi, hal itu masih bisa diantisipasi tergantung berapa besaran cukai yang dikenakan. Bhima mengimbau agar hal itu bisa dipikirkan kembali sebagai salah satu solusi persoalan defisit BPJS.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman