SKK Migas: Kasus Bioremediasi CPI Ancam Iklim Investasi

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 11 Mei 2013 - 10:13 WIB

JAKARTA (RP) - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) prihatin terhadap kejadian yang menimpa pekerja PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), terkait kasus bioremediasi yang dikhawatirkan dapat berdampak buruk terhadap iklim investasi di sektor hulu Migas di Indonesia.

Namun saat ini, pimpinan SKK Migas dan pimpinan para KKKS produksi berupaya menenangkan kekhawatiran puluhan ribu pekerja hulu Migas agar mereka masih tetap bisa fokus bekerja seperti biasa.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Biantoro menjelaskan, berdasarkan prinsip kontrak kerja sama bahwa jika memang terbukti ada permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, maka hal tersebut merupakan permasalahan hukum perdata.

Selain itu, SKK Migas juga telah melakukan suspended account sesuai Pedoman Tata Kerja yaitu seluruh biaya operasi yang terkait bioremediasi telah ditangguhkan sehingga tidak terjadi kerugian negara.

”Meski demikian, kami meyakini bahwa pekerjaan bioremediasi adalah pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menjaga lingkungan sesuai dengan aturan yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup,” ujar Elan, Jumat (10/5).

Ia mengkhawatirkan kasus bioremediasi PT CPI dapat mengganggu iklim investasi di sektor hulu Migas yang pada akhirnya dapat menghambat upaya pemerintah untuk menaikkan produksi serta meningkatkan cadangan Migas nasional.

”Kepada para pekerja Chevron. Kami menyampaikan empati yang sebesar-besarnya. Kami juga berharap pekerja Chevron tidak perlu berkecil hati dan tetap bekerja dengan baik,” pinta Elan.

Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor memvonis Riscky Prematuri 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta dan Herlan bin Ompu 6 tahun dan denda Rp 250 juta. Keduanya juga dikenakan kewajiban mengembalikan kerugian negara sekitar 9,9 juta dolar AS. Keduanya adalah pimpinan perusahaan jasa bioremediasi  (PT Green Planet dan PT Sumigita) di lapangan minyak KKKS Chevron di Duri, Riau.

Akibat vonis ini lanjut Elan, membuat kekhawatiran para pelaku industri hulu Migas, baik pekerja KKKS dan pekerja perusahaan pendukung industri hulu Migas. Hal ini katanya,  tentunya akan sangat mengganggu operasional eksplorasi dan eksploitasi Migas, yang saat ini sedang berusaha untuk meningkatkan laju produksi Migas untuk penyediaan energi nasional dan pemasukan devisa negara. ”Pekerja hulu Migas khawatir suatu saat bisa terkena kasus serupa, yang mereka anggap merupakan kriminalisasi dari suatu perkara perdata menjadi perkara pidana,”  ungkap Elan Biantoro.

Saat ini sebut Elan, ada sekitar 25.000 pekerja KKKS, dan lebih dari 15.000 pekerja perusahaan pendukung industri hulu Migas yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Chevron yang berkontribusi 40 persen produksi minyak nasional memiliki lebih dari 6.000 pekerja, dan lebih dari 3.000 tenaga pendukung operasional. Elan juga mempertanyakan pengembalian kerugian negara yang sebesar 9,9 juta dolar AS karena sejauh ini belum ada uang negara yang dikeluarkan dari pekerjaan bioremediasi yang dikerjakan baik oleh PT Green Planet maupun PT Sumigita.

”Semua pengeluaran dan pembiayaan pekerjaan bioremediasi ini belum dimasukkan dalam account cost recovery oleh SKKMigas, jadi belum ada kerugian negara sedikitpun,” terang Elan.(yud)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook