JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dunia sempat dikagetkan dengan adanya penurunan harga minyak dunia secara tiba-tiba pada Senin (9/3) kemarin. Hal ini pun menambah ketidakpastian perekonomian global, di mana sebelumnya juga mulai merosot sejak kehadiran wabah COVID-19.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Abra Talattov menuturkan bahwa ancaman paling nyata jika harga minyak mentah dunia terus merosot adalah potensi tidak tercapainya target penerimaan negara baik pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas.
“Pada APBN 2020, asumsi harga minyak mentah di Indonesia dipatok 63 dolar AS barel per hari (bph). Padahal pada tahun 2019, penerimaan pajak dan PNBP sektor migas saja sudah mengalami penurunan ketika harga ICP (Indonesian Crude Price) masih sebesar 62 dolar AS bph,” kata dia kepada JawaPos.com, Selasa (10/3).
Penerimaan Pajak Penghasilan dari sektor Migas pada tahun 2019 hanya sebesar 89,31 persen atau sebesar Rp59 triliun dari target APBN 2019, yakni Rp66,15 triliun. Hal itu menunjukkan pertumbuhan negatif -8,68 persen.
Sedangkan PNBP dari SDA (sumber daya alam) Migas tahun 2019 hanya mencapai 75,36 persen atau Rp 120 triliun) dari target APBN 2019 sebesar Rp 142,78 triliun. Pada kasus ini juga mengalami penurunan, yaitu -15,67 persen.
“Melalui simulasi sensivitas APBN 2020 terhadap perubahan harga minyak mentah Indonesia, maka diprediksi jika harga minyak menyentuh 30 dolar AS bph, dampaknya terhadap potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp85 triliun sampai Rp138 triliun,” tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan kekhawatirannya dari sisi APBN, penurunan ini tentunya mempengaruhi penerimaan negara, seperti PPh Migas dan PNBP SDA Migas. “Untuk APBN tentu penerimaan dari minyak harga yang melemah, kemudian volume juga menurun karena ekspor dan produksi juga menurun, dan juga dari sisi nilai tukar,” kata dia, Senin (9/3).
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman