JKARTA (RP) - Bank asal Indonesia hingga kini masih kesulitan memasuki negara jiran (tetangga) seperti Malaysia dan Singapura. Ironisnya, ATM bank asing justru beredar di pelosok Tanah Air.
Kalangan perbankan nasional kecewa dengan langkah Bank Indonesia (BI) yang terkesan memberi kelonggaran terhadap bank asing. Padahal, bank-bank asal Indonesia sulit ‘bergerak’ karena dibatasi oleh aturan bank sentral negara setempat. Mereka mendesak azas resiprokal (kesetaraan) segera diterapkan pada industri perbankan.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, kalangan perbankan nasional menyesal dengan sikap letoy BI dalam merapkan azas resiprokal (azas kesetaraan).
“Hal itulah yang disesalkan kalangan bankir nasional. Kita harus menerapkan azas resiprokal,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Komisaris Independen PT Bank Central Asia Tbk (BCA) ini mengaku, imbauan tersebut sudah berulang-ulang disampaikan para bankir. Namun, hal itu tidak pernah direspons dengan cepat oleh BI. “BI terkesan tidak tegas. Akibatnya, hingga kini bank asing tetap bebas melakukan ekspansi di Indonesia,” keluhnya.
Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini juga mengaku prihatin dengan lambannya penerapan azas kesetaraan antar bank terutama di negara-negara ASEAN (organisasi negara-negara Asia Tenggara). Perbankan di kawasan ASEAN belum mengedepankan prinsip saling menguntungkan (mutual benefit) karena tidak menerapkan azas resiprokal.
“Hingga kini belum ada kesetaraan. Bank-bank asal sebagian negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia bisa dengan mudah masuk ke Indonesia, tapi sebaliknya bank-bank Indonesia sulit masuk ke sana,” ujarnya.
Zulkifli menuturkan, azas kesetaraan seharusnya menjadi salah satu faktor utama yang dituntut perbankan Indonesia agar siap menghadapi Economic Asean Economic Community (AEC) 2015.
“Secara prinsip perbankan Indonesia terutama bank-bank skala besar sangat siap bersaing dengan perbankan asing, dengan catatan mampu mengembangkan strategi bisnis, sumber daya manusia dan permodalan,” katanya.
Namun, menurut Zul, masalah yang dihadapi saat ini masih ada semacam aturan di Singapura dan Malaysia yang menutup rapat-rapat masuknya bank-bank asal Indonesia. Padahal, prinsip dalam pembentukan AEC salah satunya equitable economic development, yaitu kesetaraan dalam pengembangan ekonomi di masing-masing anggotanya.
“Hal itu perlu diluruskan. Jangan hanya pintu Indonesia yang terbuka bagi bank-bank asing, sementara pintu negara tetangga tertutup bagi bank-bank dari Indonesia,” tegas Zul.
Zul mengungkapkan, saat ini bank asing sangat mudah membuka cabang di Indonesia. Sebaliknya Singapura maupun Malaysia membatasi bahkan menutup diri.
“Di Singapura hanya satu kantor cabang Mandiri. Sementara di Malaysia Mandiri belum diizinkan membuka cabang. Kalaupun ada hanya terdapat enam tempat remittance, yaitu tempat pengiriman uang bagi para TKI,” ungkapnya.
Di Bandara Singapura Changi Airport maupun di pusat keramaian Orchard, jangan harap ada dijumpai ATM Bank Mandiri. Sebaliknya di Jakarta dan bahkan di sejumlah lokasi dengan mudah menemukan ATM milik bank-bank asal Malaysia dan Singapura.
“Karena itu, perbankan Indonesia harus menjadi tuan rumah di dalam negeri sendiri. Dengan menguasai pasar domestik, maka perbankan Indonesia juga akan mampu bersaing dengan bank-bank asing,” tandas Zul.
Tapi, BI membantah jika letoy menghadang merajalelanya bank asing. Gubernur BI Darmin Nasution berjanji segera menerbitkan aturan kesetaraan bagi bank asing dan milik asing agar bank-bank nasional yang beroperasi di negara lain mendapatkan perlakuan setara.
Saat ini, BI sudah menyiapkan langkah-langkah untuk posisi tawar (bargaining) dengan sejumlah negara yang menerapkan aturan super ketat bagi ekspansi bank-bank Indonesia.
Ekonom EC-Think Indonesia Iman Sugema mengungkapkan, DPR perlu memasukkan asas resiprokal dalam UU Perbankan, dan menjadikan penerapan asas tersebut sebagai tugas BI. Pasalnya, sejauh ini tidak ada kewajiban dari BI untuk menerapkan asas kesetaraan. (rmol/jpnn)