JAKARTA(RIAUPOS.CO) - Tarif listrik berpeluang turun pada 2020. Hal itu seiring penurunan beberapa indikator pembentuk biaya pokok produksi (BPP) listrik.
Pengamat energi dan pertambangan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, ada tiga variabel yang dijadikan acuan untuk menetapkan tarif listrik.
Yaitu, Indonesian crude price (ICP), inflasi dan kurs rupiah terhadap dolar AS, serta harga energi primer.
’’Kalau saat ini, tampaknya besaran semua variabel penentu itu akan menurunkan besaran BPP listrik,” ujarnya, Senin (8/7).
Kurs tengah rupiah terhadap dolar AS selama Juli 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp 14.148 per USD.
Angka itu lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan Rp 15.000 per USD.
ICP juga cenderung turun pada kisaran USD 61 per barel. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan USD 70 per barel.
Inflasi Juli diprediksi juga rendah hanya 0,12 persen per bulan atau sekitar 3,12 persen (year-on-year) sepanjang 2019.
Selain tiga indikator itu, biaya energi primer yang menentukan harga pokok produksi (HPP) listrik cenderung tetap.
Bahkan, beberapa harga energi primer mengalami penurunan. Efisiensi yang dilakukan PLN seperti susut jaringan dan operasional keuangan juga telah menurunkan HPP listrik selama 2019.
Menurut dia, dengan beberapa indikator tersebut, BPP listrik semestinya mengalami penurunan yang signifikan.
’’Dengan penurunan BPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan automatic adjustment mestinya akan menurunkan tarif listrik pada 2020,” terangnya.
Turunnya tarif listrik pada 2020 akan memberikan berbagai manfaat bagi konsumen dan perekonomian Indonesia.
Misalnya, beban pengeluaran konsumen akan menurun sehingga bisa menaikkan daya beli masyarakat.
Penurunan tarif listrik pun akan menurunkan tingkat inflasi sehingga dapat menurunkan harga-harga kebutuhan pokok. ’
Bagi konsumen industri, penurunan tarif listrik akan menurunkan harga pokok penjualan produk dan jasa sehingga dapat meningkatkan daya saing produk dan jasa di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor,” urainya.
Dia menilai penurunan tarif yang didasarkan atas penurunan BPP listrik tidak akan merugikan bagi PLN.
Bahkan, PLN masih dapat memperoleh margin dari penjualan setrum yang tarif listrik ditetapkan di atas HPP listrik.
Di sisi lain, menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tarif listrik tahun depan dapat naik Rp 200 per kWh bagi pelanggan listrik golongan 900 VA-RTM (rumah tangga mampu).
Selama ini rata-rata pemakaian pelanggan 900 VA-RTM per bulan senilai Rp 141.432.
Dengan penerapan tarif adjustment tahun depan, rata-rata pemakaian pelanggan golongan tersebut akan naik 14,79 persen menjadi Rp 162.354 per bulan. Dengan demikian, tarif listriknya naik Rp 20.922 per bulan.
Dana yang digelontorkan pemerintah guna menutup kompensasi terhadap kerugian PLN pun cukup besar.
Pada 2018, nilai kompensasinya mencapai Rp 23,17 triliun. Pada 2018, perkiraan nilai akumulasi kompensasi pun mencapai Rp 20,83 triliun.
Pada 2020 diperkirakan Rp 22,04 triliun jika pemerintah belum menerapkan tarif adjustment.
’’Saya minta kerelaan teman-teman yang sudah dapat listrik dan dapat subsidi itu untuk sedikit berbagi dengan saudara-saudara yang lain yang belum menikmati listrik agar mereka tidak terus dalam kegelapan. Kasihan mereka, mereka juga berhak mendapatkan listrik,’’ ungkap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana. (vir/c17/oki)
Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina