OPINI

Peralihan dari Labanisasi ke Kapitalisasi pada Era Disrupsi

Ekonomi-Bisnis | Selasa, 09 Juli 2019 - 13:45 WIB

Peralihan dari Labanisasi ke Kapitalisasi pada Era Disrupsi

Oleh Dr Irvandi Gustari SE MBA *)

ERA disrupsi ini memporakporandakan alam pikir kita. Disrupsi sudah masuk ke mindset atau pola pikir kita. Dulu dengan pemikiran tradisional atau basic, kita diajari bahwa mengelola perusahaan  harus dan wajib laba. Dan di benak kita tertanam bahwa harus carilah laba sebesar-besarnya dan hal itu bisa menjadikan kelangsungan perusahaan hidup dalam jangka panjang.


Sekarang kita dipertontonkan bahwa perusahaan yang memiliki nilai pasar  atau valuasi pasar  tertinggi itu ternyata perusahaan start up yang relatif muda umurnya, dan bahkan di bawah 10 tahun. Kita bisa melirik kepada Gojek, Grab, Tokopedia, atau Lazada, ternyata memiliki nilai kapitalisasi pasar jauh lebih tinggi dari para perusahaan-perusahan besar dan mapan di Indonesia. 

Rasanya hampir tidak pernah orang mengurusi berapa sih laba dari Gojek, namun jangan ditanya tentang kisah Gojek yang menggurita dengan bisnis barunya yang nilai valuasinya bahkan lebih besar daripada Garuda. Seperti yang pernah dipublikasikan dari sejumlah media pada awal tahun 2019, diungkap bahwa valuasi Gojek 12 kali lipat lebih berharga dibanding Garuda Indonesia. Angka itu diperoleh dari valuasi Gojek  dihargai oleh para investornya senilai Rp75 triliun,  sedangkan dari nilai saham yang ada, valuasi maskapai penerbangan Garuda Indonesia hanya Rp6 triliun. 

Bahkan diperkirakan pada akhir tahun 2019 ini Gojek diprediski akan naik peringkat menjadi perusahaan decacorn. Secara definisi maka decacorn dimaknai sebagai perusahaan star-up yang nilai valuasinya mencapai USD10 miliar atau Rp141,4 triliun.

Hal itu bermakna bahwa Gojek jauh lebih berharga dibandingkan Garuda Indonesia. Ya itulah disrupsi mindset, di mana orang lebih melihat prospek masa depan suatu perusahaan saat ini, sehingga jangan kaget bahwa pada contoh lain pada empat operator telekomunikasi yang  top di Indonesia yaitu  PT Indosat Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Smartfren Telecom, dan 3 Hutchinson. Secara umur Indosat sudah 30 kalah dengan perusahaan yang masih terbilang baru di Indonesia --diperkirakan  belum mencapai 10 tahun-- yakni Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia.

Mengutip data BEI per akhir tahun 2018, nilai kapitalisasi XL Axiata sebesar Rp19,18 triliun, Indosat sebesar Rp18,68 triliun, dan Smartfren sebesar Rp5,91 triliun. Bisa kita bandingkan dengan Gojek yang punya nilai Rp75 trliun.


Biar sama pemahaman kita, maka kita balik ke teori sejenak, bahwa kapitalisasi pasar sering dimaknai sebagai  suatu ukuran secara kuantitatif atau bisa juga harga keseluruhan dari sebuah saham perusahaan yaitu sebuah harga yang harus dibayar investor  untuk membeli seluruh perusahaan. 

Besar dan pertumbuhan dari suatu kapitalisasi pasar perusahaan seringkali adalah pengukuran penting dari keberhasilan atau kegagalan perusahaan terbuka. Pertumbuhan kapitalisasi pasar inilah yang saat ini lebih diutamakan oleh para investor untuk menentukan minatnya berinvestasi pada perusahaan tersebut dibandingkan fokusnya ke tingkat laba perusahaan tersebut.

Lalu timbul pertanyaan,  apakah di era disrupsi kita tidak lagi mementingkan laba? Pertanyaan seperti tidak perlu dijawab ya, sebab di era disrupsi ini, para investor atau yang pegang uang banyak, akan sangat fokus kepada  kapitalisasi bukan labanisasi.  Kenapa ya?

Sebab para investor akan memainkan uangnya bukan dari peroleh deviden saham, namun dari kenaikan harga saham yang diperolehnya dalam waktu yang relatif singkat. Itulah jawabannya mengapa kapitalisasi memang menjadi lebih diminati daripada labanisasi. 

Lalu bagaimana dengan sikap kita? Untuk era disrupsi, yang memang yang bisa menikmati manfaat dari kenaikan harga saham tentu perusahan yang terbuka atau Tbk. Ya memang sudah saat ini beralih kepada perusahaan yang go public tentunya.

Disrupsi mindset mengajarkan kita terutama kepada para pemegang saham,  bahwa untuk mendapatkan kenikmatan keuangan sebagai pemegang saham, jangan lagi berpikir tradisional, yaitu mengharapkan  kenaikan deviden  setiap tahunnya, namun harus  alihkan pola pikir kita bagaimana  mendapatkan margin  dari kenaikan  kapitalisasi pasar yang bersumber dari valuasi perusahaan.***

*) Akademisi dan  Praktisi Perbankan









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook