KASUS POLRI-KPK

Presiden Akan Ambil Alih

Ekonomi-Bisnis | Senin, 08 Oktober 2012 - 08:43 WIB

JAKARTA (RP) - Kubu Istana menilai banyak pihak yang memanipulasi perseteruan Polri dan KPK secara politik. Akibatnya perkembangan situasi menjadi semakin keruh.

Pihak Istana melalui Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi melontarkan pernyataan, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat mengambil alih. Namun Sudi tak merinci secara konkrit bentuk pengambilalihan Presiden tersebut.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Menurut Sudi, ada dua hal yang menjadi pertimbangan Presiden. Yakni, perkembangan situasi yang sudah tidak baik dan banyak yang memanipulasi.

‘’Maka, Presiden akan segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat segera setelah pertemuan KPK-Polri dilaksanakan. Penjelasan Presiden bisa pada Senin malam, 8 Oktober (malam ini, red) atau selasa siang, 9 Oktober,’’ ujar Sudi Silalahi di Kantor Presiden, Ahad (7/10).

Dalam keterangan kepada pers itu, turut mendampinginya Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan juru bicara presiden Julian Aldrian Pasha.

Presiden sebetulnya, kata Sudi, mendengar komentar dari kalangan masyarakat agar dirinya mengambil alih. Tapi, sebelum Presiden mengambil alih harus dikedepankan upaya yang dilakukan Polri dengan KPK sesuai undang-undang yang berlaku atau MoU yang telah diadakan atau yang selama ini telah disepakati bersama untuk menangani masalah secara langsung.

‘’Sesungguhnya keadaan tidak serunyam yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tertentu,’’ kata Sudi.  Sudi menuturkan, saat ini, banyak serangan yang ditujukan kepada Presiden SBY melalui sosial media.

Presiden dicitrakan seolah-olah membiarkan atau mendiamkan persoalan antara Polri dan KPK.

‘’Sejak awal terjadinya ketegangan ini, Presiden terus mengikuti dan tidak benar kalau presiden mendiamkan atau membiarkan hal ini. Memang tidak menjadi kewajiban Presiden untuk menyampaikan kepada LSM tertentu atau politikus tertentu, apa langkah-langkah yang dilakukan presiden,’’ ujarnya.

Melihat ketegangan Polri dan KPK yang semakin eskalatif, tutur dia, maka pada hari Jumat, 5 Oktober, presiden sudah memanggil Kapolri. Saat itu Presiden memberikan sejumlah instruksi kepada Kapolri. ‘

’Setelah instruksi-instruksi itu dijalankan keadaan sesungguhnya sudah sangat mereda,’’ kata Sudi.

Sementara itu, KPK mengapresiasi langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan turun tangan dalam meredam situasi dua institusi penegak hukum, KPK dan Polri.  

‘’Dari hasil pembicaraan antara pimpinan KPK, Menkopolhukam, dan Mensesneg, disampaikan bahwa Presiden SBY akan men-take over, turun tangan menyelesaikan persoalan yang terjadi antara KPK dan Polri,’’ kata juru bicara KPK, Johan Budi, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Ahad (7/10) malam tadi.

Menurut Johan, sikap kepala negara dalam menengahi kondisi yang memanas antara KPK dan Polri akhir-akhir ini patut diapresiasi.

‘’Kita perlu apresiasi Presiden kita atas perhatiannya melihat situasi dan kondisi, di level masyarakat muncul adanya pernyataan-pernyataan yang ontra produktif bila kepala negara tidak turun tangan,’’ jelas Johan.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari tidak berani memprediksi bentuk pengambilalihan yang akan dilakukan Presiden SBY. ‘’Saya tidak mau berspekulasi. Jadi, kita tunggu saja. Semoga tidak dengan membentuk badan-badan ad hoc, misalnya satgas (satuan tugas, red) baru,’’ katanya. Sejauh ini, Eva menilai SBY bukan tipe orang yang berani pasang badan. ‘’Presiden selalu memilih yang aman untuk pribadinya dengan mengalihkan tanggung jawab,’’ sindir politisi PDIP, itu.

Dukungan KPK Mengalir

Sementara itu, dukungan publik untuk KPK terus mengalir. Ratusan massa dari berbagai kalangan, Ahad (10/7) menyemut di Bundaran HI, Jakarta Pusat, untuk menyuarakan dukungannya ke komisi antikorupsi tersebut. Mereka juga menuntut Presiden SBY untuk menegaskan sikapnya membela KPK.

Massa mulai datang sejak pukul 07.00 WIB. Mereka rata-rata berbaju putih dan hitam. Beberapa peserta car free day yang membawa sepeda juga ikut bergabung dengan massa. Mereka membawa poster dan selebaran berisi dukungan ke KPK dan tuntutan kepada SBY. Di antaranya; ‘’Kalo Betul Bapak Membela Rakyat’’, ‘’Bapak Pasti Membela KPK’’; ‘’Kemana Presiden Kita (KPK)’’; dan ‘’Save KPK’’.

Acara semakin meriah dengan kehadiran para artis yang ikut mendukung. Di antaranya eks vokalis Dewa, Elfonda Mekel (Once), Glenn Friedly, gitaris Slank Abdee Negara, dan Cholil dari grup band Efek Rumah Kaca.

Bahkan, Abdee dan Once sempat menyuguhkan lagu baru diiringi gitar akustik bertema mempertanyakan keberadaan SBY.

‘’Kami ciptakan lagu ini untuk KPK dan mempertanyakan di mana Presiden saat kasus ini terjadi,’’ katanya.  Sejumlah aktivis juga ikut hadir. Di antaranya aktivis antikorupsi Usman Hamid, Effendi Ghazali, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Romo Benny. Aksi tersebut merupakan acara dadakan dan spontan.

Aksi tersebut berawal dari beberapa orang di Twitter yang menginginkan aksi untuk mengekspresikan dukungannya ke KPK. Dari dunia maya di Twitter itulah ratusan massa dari berbagai sudut Kota Jakarta hadir.

Kombes Dedy Yakin Benar

Dari pihak kepolisian, ketua tim penyidik kasus Novel Baswedan, Kombes Dedy Iriyanto mengaku tak gentar dengan dukungan publik untuk Novel. Ia bersikukuh apa yang dilakukannya sudah benar.

 ‘’Ini pidana biasa, kami mau profesional kok tidak boleh,’’ kata Dedy saat dihubungi JPNN Ahad (7/10) malam tadi.

Dedy mengaku sedang berada di Bengkulu. ‘’Saya dan teman-teman ini orang Bengkulu, kami balik sebentar bukan berarti kasus ini dilimpahkan ke orang lain,’’ katanya. Tim penyidik kasus ini berjumlah tujuh orang.

Menurut Dedy, pihaknya siap dengan segala risiko yang akan dihadapi saat mengusut kasus Novel nanti. ‘’Kita terus melanjutkan. Nanti juga akan ke Jakarta lagi, ini konsolidasi sebentar,’’ kata perwira menengah kelahiran Slawi, Jawa Tengah, ini.

Dedy juga mengaku tak gentar dengan desakan LSM dan koalisi masyarakat pendukung KPK yang meminta kasus ini dihentikan. ‘’Ini kasus pidana murni penganiayaan yang mengakibatkan pembunuhan. Bahkan, kalau tidak ada laporan sekalipun tanggung jawab saya untuk mengusutnya,’’ katanya.

Dia juga mempersilahkan pihak-pihak yang mengusut rekam jejaknya sejak awal berkarir di kepolisian. ‘’Silakan saja, saya tidak pernah menembak orang,’’ kata Dedy.

Secara terpisah, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, mengaku mendapatkan informasi masa lalu Dedy bermasalah. Dedy pernah dilaporkan saat menjabat sebagai Kasatserse Polresta Jogjakarta tahun 2002. Saat itu Dedy masih berpangkat Kompol. ‘’Ini belum benar-benar resmi, tapi jika informasi ini benar, maka harus adil-lah. Kasus yang melibatkan Dedy juga harus dibongkar,’’ jelas Haris pada JPNN, Ahad (7/10).

Haris menekankan, jika kasus tersebut terbukti, maka Dedy harus mundur dari penyidikan kasus Novel Baswedan. Saat ini Kontras masih memperdalam informasi terkait kasus Dedy itu.

‘’Akan segera kita tanyakan pada kawan-kawan kita di Jogja. Yang jelas, kalau kasus tersebut memang betul ada, maka dia tidak etis dan tidak tepat mengurus kasus di mana dia juga jadi bagian dari kasus yang sama. Dan kalau kasusnya terbukti, jelas dia tidak boleh menangani kasus Novel,’’ tegasnya(aga/pri/ila)

Kontras juga merilis data praktik pengabaian kasus dan kekerasan dari aparat polisi di sejumlah daerah di Indonesia periode Juli hingga September 2012.

Haris memaparkan pihaknya banyak menerima pengaduan dari masyarakat, khususnya komunitas minoritas keagamaan, etnis, pedagang, petani, buruh, pekerja, mahasiwa, pengusaha, bahkan pengaduan individual. Mereka semua melaporkan adanya praktik pengabaian kasus dan kekerasan yang potensial menimbulkan pelanggaran HAM dari aparat polisi.

Haris menyebutkan, setidaknya 40 kasus menunjukkan kecenderungan adanya pengabaian kasus maupun ketidakmampuan polisi dalam mencegah dan mengusut kasus-kasus kekerasan yang terjadi. ‘’Hal-hal tersebut juga diikuti dengan beberapa model tindakan pelanggaran HAM yang kerap terjadi dari tahun ke tahun,’’ jelasnya.

Kasus-kasus tersebut di antaranya menyangkut praktik kriminalisasi dan rekayasa kasus, seperti contoh kasus Tiaka Morowali (2011), penggusuran Pasar Raya Padang (2011), Jemaat Gereja Baptis Papua (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011), Ustadz Tajul Muluk kelompok Syiah Sampang (2012), dan Serikat Pekerja Indonesia (2012).

Selain itu, juga terdapat sejumlah kasus kriminalisasi dan rekayasa kasus individual seperti kasus Koh Seng Seng (Jakarta, 2012), Aguswandi Tanjung (Jakarta, 2012), Enny Umbas (Sulut, 2012), dan Paulus Demon Kotan (NTT, 2012).

‘’Kriminalisasi ini biasanya juga diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, intimidasi penembakan hingga menimbulkan korban jiwa,’’ paparnya. (jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook