PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Produk unit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Riau, kalah saing dengan produk UMKM di provinsi lainnya. Hal ini dikarenakan banyak produk UMKM Riau yang tidak didukung oleh kemasan yang baik.
Itu juga tak terlepas, karena pemerintah daerah kurang memperhatikan UMKM ini. “Itu karena dukungan pemerintah daerah terhadap kemasan produk UMKM masih sangat lemah,” kata Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, Ahmad Hijazi, kemarin.
Karena itu, kata dia, pemerintah daerah perlu mendirikan sebuah tempat khusus yang mengurus soal kemasan produk UMKM agar nilai jual tinggi. “Kalau menurut saya penting ada lembaga ini, bisa dijadikan semacam rumah packaging (kemasan),” ujar Ahmad Hijazi.
Menurutnya, rumah packaging tidak hanya berfungsi membantu pelaku UMKM bagaimana mengemas produk olahan mereka menjadi menarik dengan nilai jual tinggi, melainkan tempat ini bisa bermanfaat sebagai sarana membentuk keterampilan UMKM bagaimana hasil produksinya bernilai jual tinggi.
Untuk mewujudkan itu, sebut Ahmad Hijazi, memang rumit dalam mengurus tampilan produk. Ada banyak prosedur birokrasi yang harus dilakukan pelaku usaha, sebab keseluruhan itu diurus pada instansi berbeda.
Menurutnya, pemerintah pusat sudah mengucurkan sejumlah dana untuk membangun Sentra Industri Kecil Menengah (SIKM) yang disalurkan di Dinas Perindustrian Provinsi Riau.
“Seharusnya SIKM sudah bisa meng-cover setidaknya 3 kebutuhan pelaku usaha. Seperti peningkatan produksi, kemasan dan pemasaran. Namun kenyataan di lapangan semua itu belum berjalan baik,” jelasnya. Sebelumnya, Ahmad Hijazi mengatakan, data yang diterima pihaknya tahun 2018, IKM Riau mencapai 8.794. Sedangkan UMKM mencapai 500 ribu lebih yang tersebar di 12 kabupaten/kota se-Riau .
“Ribuan IKM dan UMKM itu menghasilkan berbagai jenis industri unggulan. Usaha unggulan berdasarkan potensi yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota,” kata dia.
Misalnya kata dia, untuk bahan baku sagu terdapat di Kepulauan Meranti dan Bengkalis, kelapa ada di Indragiri Hilir dan Pelalawan, ikan air tawar di Kampar dan ikan laut di Rokan Hilir, serta hasil perkebunan dan pertanian di 12 kabupaten/kota se-Riau.
Potensi tersebut, menurut Ahmad Hijazi, telah dikembangkan masyarakat menjadi industri-industri kerajinan dan kreatif. Hal ini sangat membantu terhadap perekonomian masyarakat.
Seperti industri tenun, bordir, batik maupun industri kecil lainnya yang berpotensi dari sumber daya manusia, yang kemudian digabungkan terhadap kebiasaan dan budaya, sehingga menghasilkan industri kreatif yang bernilai ekonomis.
“Itu semua membutuhkan promosi dan pasar. Baik itu pasar regional maupun global. Sebab perkembangan globalisasi, dampak yang sangat dirasakan adalah tantangan daya saing. Terutama dalam mengakses pasar global,” ujarnya.
Karena itu, kata Ahmad Hijazi, kondisi tersebut menjadi tantangan yang harus disikapi secara cepat. Baik oleh pelaku usaha dan pengusaha industri kecil, serta dorong oleh pemerintah.(dal)