JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesia disebut tidak bisa meraih peluang investasi di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Kalah oleh sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan, Vietnam menjadi ”pemenang”.
Negara-negara tersebut mampu mendapatkan peluang bisnis yang berupa investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) dari sejumlah pabrikan yang terdampak perang dagang.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira menuturkan, dari segi manufaktur, tidak dimungkiri daya saing Indonesia memang kalah jika dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, atau Thailand. Banyak perusahaan melakukan relokasi dari Tiongkok ke negara-negara tersebut karena prosesnya jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan di Indonesia.
Kondisi regulasi negara-negara itu cenderung sentralistis alias satu pintu di pemerintah pusat. Berbeda dengan Indonesia yang perizinan investasinya lebih berbelit lantaran juga harus melalui pemerintah daerah. ”Kalau di Indonesia, mungkin relokasi industri butuh waktu 5 sampai 10 tahun. Jadi, momentum perang dagang sudah lewat, baru perusahaan bisa relokasi ke sini,” ujarnya kemarin.
Meski dari sisi manufaktur Indonesia tertinggal, papar Bhima, harus dipahami, ada pergeseran struktur investasi langsung atau FDI. Dari biasanya berbasis sektor industri bergeser ke sektor jasa. Karena itu, banyak perusahaan berbasis ekonomi digital yang melakukan relokasi ke Indonesia.
Bahkan, Bhima mengklaim, untuk relokasi perusahaan berbasis ekonomi digital, Indonesia adalah pemenangnya. ”Perkembangan ekonomi digital, yang melakukan relokasi ke Indonesia ini banyak yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan asing, dari Tiongkok khususnya,” ungkapnya.
Berdasar studi Google-Temasek, pada 2025 ekonomi digital Indonesia akan menyentuh angka USD 100 miliar dan menjadi yang paling besar di Asia Tenggara. ”Jadi, mungkin Tiongkok tertarik dengan itu. Pergeseran struktur investasi itu juga perlu dicermati,” imbuhnya.
Lantas, apa yang perlu dilakukan pemerintahan baru nanti? Bhima menguraikan, ada dua formula berbeda yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, untuk menarik industri manufaktur, diperlukan kemudahan perizinan, penyelesaian masalah koordinasi pemerintah daerah dan pusat yang masih kacau, infrastruktur penunjang seperti kawasan industri, serta kemudahan akses terhadap bahan baku.
Formula kedua diperuntukkan sektor jasa, khususnya ekonomi digital yang potensinya cukup besar. Antara lain, pembenahan infrastruktur, khususnya internet yang lebih merata. Juga penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang lebih berkualitas di sektor digital dan insentif untuk research & development. ”Formula yang berbeda itu harus dikembangkan dua-duanya sehingga dapat dimanfaatkan dalam perang dagang. Manufaktur makin kuat, sektor jasa juga makin berkembang,” tandasnya.
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pemerintah berupaya terus mengantisipasi berbagai kondisi global agar dapat memperbaiki iklim investasi. ”Jadi, artinya, stabilitas makro tetap terjaga, kondisi dan policy pemerintah tetap commit. Tentu kita tahu bahwa tekanan dari luar, apalagi situasi politik di AS, itu pasti akan memberikan dampak kepada seluruh dunia,” tuturnya.