Kasus Bioremediasi Harus Dilihat Objektif

Ekonomi-Bisnis | Senin, 07 Mei 2012 - 11:34 WIB

PEKANBARU (RP) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan, proyek bioremediasi yang dijalankan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tidak fiktif.

‘’Proses bioremediasi menurut Chevron ada semua di lapangan. Tidak ada fiktif. Bisa dicek,’’ kata Jero Wacik, Kamis (3/5) di Jakarta, seperti dilansir JPNN. Dia juga mengatakan bahwa BP-MIGAS juga sudah meneliti bahwa proyek itu ada.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Guru Besar Manajemen Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Ir Surna Tjahja Djajadiningrat MS mengingatkan, proyek bioremediasi harus dilihat secara objektif. Menurut Surna, perlu adanya penanganan yang hati-hati dan mendalam dengan melibatkan saksi ahli yang kompeten dan mengerti tentang teknologi bioremediasi. Sebab, bioremediasi tergolong teknologi baru dalam penanganan tanah terkontaminasi minyak.

‘’Saya sendiri meragukan, tidak percaya kalau perusahaan multinasional seperti Chevron membuat kejahatan yang bisa menghancurkan reputasi perusahaan. Ini masalah bagaimana menjaga citra perusahaan,’’ jelas Surnakepada wartawan beberapa hari lalu di Jakarta.

Sementara itu, terkait keraguan tentang sertifikasi dua kontraktor pelaksana, yaitu PT Sumigita Jaya (SJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI), maka mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor: 18/1999 pasal 40 dan Kepmen LH Nomor 128/2003 pasal 2, kewajiban untuk memperoleh sertifikasi atau izin dari badan pemerintah terkait pelaksanaan metode bioremediasi jatuh kepada PT CPI sebagai badan yang melakukan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan atau penimbunan limbah. Karena itu, sertifikasi/izin yang dimaksudkan dalam peraturan-peraturan ini tidak dimaksudkan untuk diterapkan kepada kontraktor yang berperan sebagai pelaksana lapangan proyek bioremediasi ini.

Demikian dikatakan profesor petroleum bioteknologi Lembaga Migas (Lemigas), M Udiharto, kepada Riau Pos yang dihubungi melalui telepon selulernya, Ahad (6/5). ‘’Tentunya kontraktor yang menangani limbah ini sudah melalui tahap-tahap tender sebagaimana peraturan dan ketentuan yang berlaku dan kontraktor itu melaksanakan proyek sesuai dengan perintah/permintaan user, dalam hal ini PT CPI. Kontraktor menjadi operator di lapangan,’’ katanya.

Ditanya apakah ada kemungkinan kontraktor tidak melakukan proyek tersebut, Udiharto menegaskan hal tersebut kecil kemungkinannya. Sebab, operasional proyek bioremediasi melibatkan banyak pihak dan dipantau secara periodik. ‘’Kalaupun misalkan ada oknum, pasti semuanya akan tahu,’’ sebut Udiharto mencontohkan.

Dijelaskan Udiharto, kemampuan mikroorganisme dimanfaatkan dalam kegiatan bioteknologi. Banyak teknologi berbasis bioteknologi, bioremediasai adalah salah satu di antaranya. Bioremediasi merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi/menyehatkan/menormalkan kembali lingkungan tercemar.

Sebagai lingkungan tercemar yang dapat ditanggulangi berupa lahan maupun air tanah, sedangkan kontaminannya dapat berupa minyak bumi, produk maupun sisa hasil olahannya, limbah berminyak, bahan pelarut dan bahan pencemar lain yang dapat dibiodegradasi.

Bagaimana penggunaan teknologi bioremediasi untuk tanah tercemar hidrokarbon minyak bumi? Dengan lahan tercemar cukup luas dan penyebarannya tidak merata, bioremediasi tidak dilakukan di tempat (in situ), tetapi di suatu tempat yang disiapkan khusus untuk proses pengolahan (ex situ). Dengan kondisi demikian perlu adanya tahapan kegiatan seperti perlu adanya kajian awal untuk perkiraan wilayah penggalian yang terkontaminasi dan berpotensi untuk diremediasi dan selanjutnya disiapkan alat untuk penggalian tanah, penyiapan alat transportasi untuk mengangkut tanah galian dari lokasi tercemar ke tempat proses pengolahan dilakukan, penyiapan lahan untuk dibangun unit pengolah tanah tercemar minyak secara bioremediasi. Mulai penyiapan lahan sampai pembuatan unit pengolah tanah tercemar mempunyai pedoman pelaksanaannya yang perlu diikuti.

‘’Hal ini untuk menjaga agar tempat pengolah tanah tercemar hidrokarbon minyak bumi dapat berjalan baik dan tidak menimbulkan lokasi pencemaran baru. Dalam unit pengolah pada dasarnya terdapat lokasi penyimpan/penampung stok tanah yang akan diolah dan   tempat proses bioremediasi dilaksanakan. Dilengkapi kolam pengaman untuk menampung maupun mengontrol bila terjadi ada air yang melimpas dari kedua lokasi,’’ paparnya.

Di lokasi tempat pelaksanaan proses bioremediasi, dapat dilaksanakan bila kandungan minyak/hidrokarbon (TPH) memenuhi syarat. Apabila berlebih harus diolah terlebih dahulu sampai di bawah batas maksimum, sedangkan bila kurang harus dicampur dengan tanah tercemar hidrokarbon minyak bumi dengan kandungan lebih tinggi sehingga persyaratan kandungan TPH minimal untuk diolah memenuhi ketentuan. Dengan demikian tanah tercemar di stok penyimpanan tidak otomatis dapat diolah, baru dapat diolah bila kriteria kandungan TPH dalam tanah yang akan diolah memenuhi ketentuan.

Di lokasi unit pengolah tanah tercemar perlu peralatan pengolah tanah mulai dari persiapan sampai pengolahan tanah tercemar berlangsung. Tanah tercemar yang akan diolah harus dihancurkan menjadi butiran-butiran kecil untuk mendukung kelancaran bioproses berlangsung. Pemberian nutrisi dan pengaturan pH tanah (bila diperlukan) untuk mendukung aktivitas mikroorganisme. Pengaduk tanah untuk membuat homogenitas tanah dan efektivitas aerasi. Penyemprot air untuk menjaga kelembaban tanah.

Udiharto melanjutkan, sebelum dan secara periodik selama proses bioremediasi berlangsung serta pada akhir kegiatan, dilakukan pengambilan sampel secara random sesuai ketentuan untuk dilakukan analisis terhadap beberapa parameter uji. Hal ini untuk melihat kemampuan dan jalannya proses bioremediasi. ‘’Pada akhir kegiatan setelah mendapat kepastian kegiatan bioremediasi selesai, tanah hasil olahan di bawa keluar dari unit pengolah untuk ditebar di suatu tempat tertentu yang memenuhi kriteria dan tidak ditanami tanaman pangan. Selama kurang lebih dua tahun masih dalam pengawasan,’’ terang Udiharto.

Di lingkungan industri Migas Indonesia, kegiatan bioremediasi mulai dikenal sekitar tahun 1990-an. Sebagai lembaga Litbang, Lemigas pada pertengahan periode 1990-an mulai melakukan penelitian bioremediasi skala kecil di lingkungan laboratorium. Pada waktu itu, PT CPI yang kala itu masih bernama PT Caltex Pacific Indonesia, telah melakukan kajian bioremediasi skala lapangan.

Di lingkungan industri Migas di Indonesia, PT CPI termasuk pendahulu dan pelopor dalam kegiatan bioremediasi. Kegiatan tersebut selanjutnya diikuti oleh industri Migas yang lain. Dengan berkembangnya kegiatan bioremediasi di lingkungan industri Migas, hal ini memacu disusunnya peraturan sebagai pedoman pelaksanaan.(hen/fat)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook