JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kinerja penerimaan bea masuk tertekan akibat wabah corona. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pam-budi memerinci, penerimaan bea masuk tercatat mencapai Rp 5,5 triliun. Jumlah itu turun 5,4 persen daripada periode yang sama tahun lalu yang tercatat Rp 5,8 triliun.
"Pengaruh korona ini sudah mulai kita rasakan di impor. Itu berdampak pada devisa impor. Tapi, yang bagus justru kita bisa tetap maintain ekspornya," ujar Heru di Kemenko Perekonomian Jumat (6/3).
Sementara itu, penerimaan bea keluar tercatat Rp 597 miliar. Angka itu turun 5,6 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 631 triliun. Secara total, penerimaan kepabeanan sejak Januari–Februari 2020 turun sekitar 5,5 persen daripada periode yang sama tahun lalu.
Meski begitu, penerimaan bea keluar masih terbilang baik. Sebab, banyak produk yang tetap bisa diekspor meskipun ada wabah korona. Penerimaan per Februari 2020 meningkat hampir 80 persen ketimbang Januari 2020. Yakni, dari Rp 100 miliar menjadi Rp 497 miliar.
"Yang menjadi konsen pemerintah adalah bagaimana ekspor ini terus berlanjut, bahkan kita tingkatkan. Dan, yang harus kita pas-tikan adalah suplai bahan bakunya. Saya kira itu kita pahami bahwa sebagian bahan baku itu kan dari Cina ini yang harus kita pikirkan terus," jelasnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai Indonesia perlu menyasar pasar negara berkembang sebagai bagian diversifikasi ekspor. Sebab, pasar negara maju cenderung melambat.
Di sisi impor, barang-barang modal cenderung mengalami kelangkaan akibat macetnya industri manufaktur di Negeri Panda. "Mayoritas impor Indonesia dari Cina merupakan bahan baku ataupun barang modal. Mulai berbagai mesin, alat elektronik, besi dan baja beserta turunannya, hingga barang plastik," katanya. Barang-barang tersebut menyumbang 56,29 persen impor dari Tiongkok ke Indonesia.
Kelangkaan tersebut kemungkinan berdampak pada inflasi inti Indonesia. Pada Februari lalu, tingkat inflasi inti sedikit melambat menjadi 2,76 year-on-year (YoY) jika dibandingkan bulan sebelumnya 2,88 (YoY). Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia (BI) mengarahkan ekspektasi inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah segera melakukan diplomasi dagang dengan negara-negara yang berpotensi menjadi pemasok produk impor nonmigas. "Selain Cina, penyuplai kedua adalah Vietnam, India, Hongkong, dan Taiwan," ujarnya.
Sebelum terjadi kelangkaan di pasaran, menurut Heri, pemerintah perlu menyiasatinya. Jika itu dibiarkan, dia mem-perkirakan inflasi Maret akan meningkat lebih dari 2 persen.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal