Freeport Simpan Dollar Hasil Ekspor di Negara Lain

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 06 September 2013 - 09:16 WIB

JAKARTA (RP) - Perusahaan Amerika Serikat (USA) yang mengeruk tambang di Papua, PT Freeport Indonesia mengaku tidak menyimpan uang dolar hasil penjualan produk mineralnya di Indonesia. Dalihnya, belum ada aturan yang mewajibkan Freeport melakukan itu.

Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto mengungkapkan, penyimpanan hasil ekspor di luar negeri sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sejak awal perusahaan Amerika Serikat ini beroperasi di Indonesia."Dari dulu begitu (simpan hasil ekspor di luar negeri). Itu kan sudah puluhan tahun," ujarnya di Kementerian Perhubungan kemarin (5/9).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Rozik berdalih sampai saat ini masih menyimpan hasil penmjualan ekspornya di luar negeri. Pasalnya tidak ada aturan yang mewajibkan harus disetor di bank dalam negeri. Oleh karena itu, Freeport menilai tidak perlu melakukan hal itu."Kalau tidak ada aturannya bagaimana? Selama tidak ada (kewajiban) kita akan pakai (kebiasaan) yang lama," tukasnya.

Namun apabila nanti ada kewajiban agar perusahaan asing menyimpan devisa hasil ekspornya di bank dalam negeri, Rozik akan mempertimbangkannya. Dia menegaskan, Freeport selama ini selalu patuh sesuai kontrak karya."Jadi tidak ada sesuatu yang harus dilakukan, kita sudah sesuai kontrak karya," ungkapnya.

Di semester pertama tahun 2013, perusahaan tambang terbesar dunia ini membukukan pendapatan USD 6,03 miliar (lebih dari Rp 60 triliun) dari penjualan tembaga dan emas yang berasal dari tambang Grasberg di Papua. Penjualan tembaga mencapai 356 juta pound (USD 1,14 miliar), sementara emas sebanyak 342 ribu ounces (USD 4,89 miliar).

Penjualan tembaga Freeport pada Januari-Juni tercatat naik 12,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun realisasi harga jual rata-rata tembaga turun menjadi USD 3,20 per pound dari USD 3,56 pound. Sedangkan, penjualan emas Januari-Juni tercatat turun 33,3 persen dengan realisasi harga jual rata-rata turun signifikan menjadi USD 1.431 per ounces dari USD 1.639 per ounce.

Rozik juga menilai penurunan penjualan merupakan dampak penghentian sementara operasi tambang Grasberg pasca peristiwa runtuhnya fasilitas latihan bawah tanah di area Big Gossan pada 14 Mei 2013 lalu. Dia bahkan memprediksi produksi tambang Grasberg tahun ini akan turun 20 persen di bawah target. "Hanya akan mencapai 80 persen dari target karena sempat berhenti," jelasnya. (wir/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook