JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Bank Indonesia (BI) saat ini tengah gencar mengkampanyekan kartu Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk mudahkan nasabah perbankan agar tidak perlu memakai banyak kartu debet.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kartu GPN belum sepenuhnya dapat mengefisienkan transaksi. Persoalannya terletak pada kartu berlogo GPN masih belum bisa digunakan untuk transaksi online atau contactless (nirsentuh).
Menurutnya, jika hal itu belum didorong lalu tak ada untungnya bagi nasabah untuk menukarkan kartunya dari kartu yang lama ke kartu berlogo GPN. Tanpa insentif, tentu waktu nasabah untuk antre ke bank menjadi terbuang percuma alias terjadi pemborosan waktu. “Kasus perbaikan kartu komuter line kemarin yg menimbulkan gangguan di stasiun jadi pelajaran penting,” ujarnya kepada JPG, Ahad (5/8).
Padahal, kata Bhima, generasi milenial usia 18-35 tahun sudah hampir jarang sekali mendatangi bank, kalau bukan karena pendaftaran tabungan baru atau mengganti kartu ATM yang hilang. “Kasus serupa akan berpengaruh juga terhadap transaksi non tunai di jalan tol,” imbuhnya.
Dalam rencana pembayaran e-toll misalnya, disebutkan dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 16/PRT/M/2017 tentang transaksi tol nontunai di jalan tol pada pasal 6 ayat 1 bahwa ke depannya pengguna jalan tol akan masuk ke era On Board Unit (OBU) yang menggunakan teknologi contactless. Bahkan di regulasi tersebut tercantum jelas target adopsi 100 persen transaksi contactless pada 31 Desember 2018.
Dengan adopsi OBU, pengguna jalan tol tak perlu repot beli kartu perdana atau top up saldo. Konsep OBU sendiri mirip dengan Electronic Road Pricing (ERP) yang sudah lama diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura dan Kanada. “Mimpi itu yang nampaknya belum tersambung dengan rencana BI untuk memastikan nasabah bank untuk menukar kartu dengan logo GPN. Ada rencana induk yang tidak sinkron antar Kementerian dan BI terkait arah teknologi sistem pembayaran,” sebutnya.
Bhima menuturkan, wajar masyarakat akhirnya dibuat bingung khususnya pengguna jalan tol, kalau sudah beli kartu e-toll maka pada 31 Desember 2018 kemungkinan perlu membeli perangkat baru lagi, yang tentunya bentuk pemborosan. “Pembuat kebijakan di Indonesia harusnya juga belajar dari kasus adopsi pembayaran digital di Cina,” tuturnya.
Jika kita masih berbicara kartu, lanjut Bhima, mereka sudah move on bicara tentang pemanfaatan QR (Quick Respnse) Code. Mulai dari belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket, transfer antara pengguna smartphone, hingga memberikan sumbangan ke pengemis di jalanan Beijing semua sudah transformasi ke QR Code. “Belajar dari pengalaman Cina, maka dapat disimpulkan penggunaan transaksi pembayaran model kartu plastik jelas boros dan memakan biaya tambahan yang ujungnya tetap akan dibebankan ke nasabah. Sementara penggunaan teknologi contactless terbukti lebih hemat,” ujarnya. (mys/jpg)