JAKARTA (RP)- Mabes Polri terus memproses oknumnya yang terlibat peristiwa berdarah terkait sengketa tanah di Mesuji, Lampung.
Setelah lima anggota dinyatakan melanggar disiplin, tiga polisi diseret ke ranah pidana. Mereka dituding telah menganiaya warga Mesuji dan lalai hingga menyebabkan kematian warga.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution mengatakan, tiga anggota itu adalah AKP WH, AKBP P dan Bripda S. WH dijerat Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain. Sedang AKBP P dan Bripda S dijerat pasal 351 tentang penganiayaan.
‘’Mereka diproses pidana berdasar keterangan saksi dan alat bukti,’’ kata Saud.
Sebelumnya, Mabes Polri sudah mengganjar hukuman disiplin bagi lima polisi yang bertugas di Mesuji.
Yakni, AKBP P diberi teguran tertulis dan mutasi demosi atau dipindah ke jabatan yang lebih rendah. Bripda S ditahan 14 hari serta diberi hukuman penundaan untuk ikut pendidikan dalam satu periode.
AKP WH yang diberi sanksi disiplin penahanan selama 14 hari, penundaan kenaikan gaji satu periode dan mutasi demosi.
Selain itu, ada Aipda DP yang disanksi penahanan 14 hari, penundaan kenaikan gaji satu periode dan mutasi demosi, serta Ipda H yang ditegur tertulis dan penundaan pendidikan selama dua periode.
‘’Meski sudah disanksi disiplin, kalau ada indikasi pidana, kami akan proses ke pidana,’’ kata Saud yang mantan Kadensus 88 Antiteror itu.
Terkait kasus di Bima, Mabes Polri masih bersikeras, korban dalam pembubaran blokade pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) berjumlah dua orang. Mereka menolak data dari Komnas HAM yang menyebut korban tiga orang.
Saud mengklaim, satu orang yang meninggal itu tak terkait pembubaran blokade. Dia adalah Syarifuddin Arrahman, meninggal pada hari yang sama saat pembubaran blokade pada 24 Desember 2011.
Namun, dia mati setelah sakit perut. Tapi, Saud tak bisa memastikan orang ketiga itu adalah lelaki berusia 32 tahun tersebut. Dia hanya mengira-ngira satu korban tambahan adalah Syarifuddin. ‘’Ini berdasar keterangan Hasanuddin, kakak Syarifuddin,’’ katanya.
Terpisah, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) kemarin mendampingi sejumlah warga Bima menemui Komisi III DPR RI. Dalam aduannya, Kontras menyatakan para masyarakat Bima masih mengeluhkan kejadian bentrok dengan aparat kepolisian di Desember silam.
‘’Warga masih trauma dengan polisi,’’ ujar Haris Azhar, koordinator Kontras di gedung parlemen, Jakarta, Kamis (5/1). Dalam pertemuan itu, Komisi III dipimpin Wakil Ketua Nasir Jamil bersama sejumlah anggota komisi bidang hukum lainnya.
Haris menyatakan, Kontras telah menyelidiki langsung di lapangan pasca bentrok di Bima. Dia menyatakan, 83 warga terluka akibatnya. ‘’Sebagian besar terkena tembakan. Banyak yang belum dapat perawatan medis,’’ ujar Haris. Kontras minta DPR bisa menghubungi pihak-pihak yang bisa memberi bantuan medis.
‘’Karena ada korban yang lukanya sudah infeksi,’’ kata Haris.
Menurutnya, dengan kondisi itu, patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentrok di Bima.
Terjadinya bentrok itu sebab adanya SK Bupati Bima yang memberi izin usaha untuk mengeksplorasi lahan tambang di Lambu. Karena itu, Kontras juga merekomendasikan DPR agar bisa mendorong pencabutan SK itu.
Terkait pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan aparat kepolisian, Kontras juga merekomendasikan DPR membentuk tim khusus untuk berkomunikasi dengan Komnas HAM. Komnas HAM juga sudah memiliki temuan atas bentrok di Bima.
‘’Pembentukan tim khusus dirasa perlu agar dapat lebih mudah dapat data soal pelanggaran HAM,’’ jelasnya.
Kontras juga mengkritik pernyataan Mabes Polri yang menyatakan warga Bima cenderung suka kekerasan. Ini pernyataan subyektif yang melukai warga Bima.
‘’Komisi III harus mengkonfrontir keterangan Mabes Polri yang cenderung memojokkan itu,’’ tegas Haris.
Kontras merekomendasikan DPR agar minta Mabes Polri menarik pasukannya dari Bima, untuk menurunkan tensi ketegangan dengan masyarakat. Kontras juga merekomendasikan DPR membantu pemulihan kondisi di Bima.(jpnn)