DUGAAN KORUPSI PROYEK PENGADAAN SIMULATOR SIM

Jenderal Djoko Langsung Ditahan

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 05 Oktober 2012 - 09:21 WIB

JAKARTA (RP) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan menahan Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Djoko Susilo pada pemeriksaan, Jumat (4/10) hari ini.

Penegasan tersebut disampaikan Ketua KPK Abraham Samad saat menyambut dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat sipil, aktivis, dan mahasiswa di kantornya, Kamis (4/10) kemarin.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Besok (hari ini) saya tidak akan begeser dari tempat duduk saya di lantai tiga, menunggu kedatangan penyidik dari lantai tujuh dan delapan, untuk menyerahkan surat perintah penahanan, untuk segera ditandatangani,’’ kata Abraham.

Abraham menerima petisi yang ditandatangani masyarakat yang menginginkan penyidikan kasus simulator SIM Korlantas Mabes Polri diserahkan ke KPK. Petisi diserahkan Anita Wahid, putri Mantan Presiden Abdurrahman Wahid.

Sejumlah tokoh lain yang hadir antara lain tokoh agama Romo Benny Susetyo, budayawan Radhar Panca Dahana, aktivis HAM Usman Hamid, sosiolog Thamrin A Tamagola, dan puluhan orang lainnya.

Anita Wahid mengatakan, KPK harus menyidik kasus simulator secara penuh.

‘’Kami juga mendesak agar Polri membersihkan tubuhnya dan bersanding dengan KPK untuk memberantas korupsi. Polri harusnya tidak melakukan pembangkangan dan menyerahkan siapapun kepada KPK yang sudah ditetapkan sebagai tersangka,’’ kata Anita.

Abraham menegaskan tidak akan mundur dalam mengusut kasus dugaan korupsi di kepolisian.

‘’Yakinlah bahwa KPK tidak akan pernah mundur sejengkal pun menghadapi koruptor di Indonesia, sekalipun yang bersangkutan adalah jenderal,’’ serunya.

Menurut Abraham, dukungan dari masyarakat luas sudah cukup bagi KPK untuk melakukan aksi-aksi pemberantasan korupsi.

‘’KPK tidak butuh political will dari pemimpin negeri ini. KPK tidak butuh political will para legislator di Senayan. KPK hanya butuh dukungan dan bantuan masyarakat di negeri ini,’’ katanya.

Abraham berharap Djoko datang dan jujur mengungkapkan fakta dalam pemeriksaan hari ini. ‘’Kita berharap Pak Djoko mau berkata jujur sebagai seorang jenderal. Jujur dalam artian mengatakan semua, apa yang sebenarnya terjadi,’’ katanya.

Jumat (28/9) lalu, Djoko menolak diperiksa penyidik KPK karena menganggap penyidikannya tidak sah. Bekas Gubernur Akademi Polisi (Akpol) itu mempertanyakan dualisme penyidikan kasus simulator SIM yang juga tengah ditangani Mabes Polri.

Ramai-ramai Tinggalkan Polri

Sementara itu, kabar ‘’hengkangnya’’ para penyidik Polri dari korps Bhayangkara terus bergulir. Sebanyak 28 penyidik Polri yang bertugas di KPK memilih bertahan di sana.

Pimpinan KPK telah menerbitkan Surat Ketetapan (SK) pengangkatan menjadi pegawai tetap. SK tersebut juga tengah dikirimkan ke Mabes Polri.

‘’(Sebanyak) 28 sudah diberi SK oleh pimpinan KPK, sudah disampaikan ke Mabes Polri kemarin (Rabu) siang. Kita akan mempertimbangkan pengunduran dirinya,’’ kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di kantornya, Kamis (4/10) kemarin.

Menurut Busyro, para penyidik dari kepolisian itu tidak akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh korps Bhayangkara. Pengangkatan mereka mengacu pada PP Nomor 63/2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

‘’Ini kan kita angkat berdasarkan peraturan hukum, KPK boleh mengangkat penyidik sendiri. Jadi, penegak hukum pasti mengakui legalitasnya,’’ kata mantan Ketua Komisi Yudisial itu.

Dalam pasal 7 ayat 1 PP 63 disebutkan bahwa pegawai negeri yang dipekerjakan dapat beralih status menjadi pegawai tetap sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi.

Pada ayat 2 undang-undang itu disuratkan bahwa pegawai negeri yang diangkat menjadi pegawai tetap pada komisi, diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri.

Dalam UU No 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan, yang dimaksud pegawai negeri antara lain adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, serta anggota Polri.

Sehingga, pegawai negeri yang dimaksud dalam PP No 63/2005 juga mengatur tentang anggota kepolisian.

Akhir bulan lalu Polri tidak memperpanjang 20 penyidik yang ditugaskan di KPK. Sebanyak empat penyidik menyatakan ingin kembali ke kepolisian. Sedangkan 11 lainnya telah melapor ke Mabes Polri.

Tinggal lima penyidik yang belum melapor. Mabes Polri meminta lima penyidik yang belum melapor itu segera menentukan sikap. Jika ingin bertahan di KPK, mereka harus mundur. Jika tidak, mereka akan disanksi pelanggaran disiplin.

‘’Jangan sampai tercatat sebagai anggota Polri tapi kerja di tempat lain. Itu bisa jadi pelanggaran disiplin. Yang bersangkutan bisa disidang disiplin dan berakibat pada pemberhentian tidak dengan hormat,’’ kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Kamis (4/10).

Boy mengatakan, jika hingga 30 hari tanpa keterangan, lima penyidik yang belum melapor ke Mabes Polri bisa dianggap mangkir dari tugas.

Mereka dianggap membolos dari pekerjaan mereka tanpa keterangan. Itu bisa membuat mereka diseret ke sidang disiplin dan disanksi berat. ‘’Poliri kan juga PNS. Tanpa keterangan selama 30 hari bisa dianggap pelanggaran disiplin serius,’’ katanya.

Mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu mempersilakan lima penyidik tersebut bila ingin menjadi pegawai tetap di KPK. Namun, mereka harus terlebih dahulu menyampaikan surat pengunduran diri.

Untuk perwira tinggi dengan pangkat Kombes ke atas, pengunduran diri diajukan ke Presiden. Sedangkan untuk perwira menengah (AKP, Kombes, AKBP), surat tersebut cukup diajukan ke Kapolri.

Boy menyayangkan sikap para penyidik tersebut. Padahal, pihaknya sudah berkomunikasi kepada mereka hingga secara personal. Bahkan, jenderal yang bertugas di KPK sudah menyampaikan kepada mereka untuk segera menentukan sikap.

‘’Kalau mereka mau tempuh dengan baik-baik, kami akan berikan seluas-seluasnya. Kalau ada aturan, mohon diikuti,’’ katanya.

Mantan Kanit Negosiasi Densus 88 Mabes Polri itu juga membantah pernyataan Juru Bicara KPK Johan Budi yang mengatakan, para penyidik tersebut bisa alih tugas di KPK. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa alih tugas hanya bisa dilakukan dari Polri ke sepuluh instansi.

Lembaga tersebut di antaranya, Kementerian Koordinator Polhukam, Kementerian Pertahanan, Mahkamah Agung, Lembaga Sandi Negara, Badan Intelejen Negara, Sekwilpres, Basarnas, Badan Narkotika Nasional, dan Lemhanas.

‘’Di situ KPK tidak disebutkan. Artinya, tidak bisa. Tidak bisa serta merta alih tugas ke sana. Makanya, kami sarankan untuk mengundurkan diri dulu dari Polri,’’ katanya.

Kantongi Keterlibatan Anas

Sementara itu, dalam kasus proyek pusat olahraga Hambalang, KPK telah mengantongi sejumlah petunjuk yang mengaitkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. KPK akan mendalami petunjuk tersebut dalam penyelidikan kasus itu.

‘’Sudah kita ketahui ada supir Anas dipanggil dan seterusnya. Jadi kita mengapresiasi setiap informasi atau petunjuk-petunjuk yang masuk kita kembangkan,’’ kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di kantornya, Kamis (4/10) kemarin.

Apakah ada indikasi keterlibatan Anas? ‘’Berdasarkan petunjuk-petunjuk atau pernyataan yang ada memang seperti itu. Tapi petunjuk belum bisa disimpulkan sebagai bukti. Harus disaturangkaikan dengan bukti-bukti lain,’’ kata Busyro.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan akan ada tersangka baru dalam waktu dekat.

‘’Tunggu saja tanggal mainnya. Ingat lagu Krisdayanti. Tahu enggak lagunya apa? Ya itu dia, menghitung hari,’’ kata Abraham.

Abraham mengatakan pihaknya belum bisa menyebutkan pihak yang akan menjadi tersangka. ‘’Karena kalau kita sebutkan dan disampaikan ke media, dan besok dimuat besar-besar, maka langkah-langkah penyelidikan berikutnya, misalnya penggeledahan, penyitaan barang-barang itu akan terganggu,’’ ujar Abraham.

Rentang investigasi kasus Hambalang memang cukup lebar. Selain penyelidikan aliran dana, saat ini juga tengah berlangsung pengusutan terkait pengadaan yang telah ke proses penyidikan dengan tersangka Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Dedi Kusdinar.

Untuk penyelidikan aliran dana ke Kongres Partai Demokrat 2010 di Bandung, KPK telah memeriksa Direktur Keuangan Grup Permai Neneng Sri Wahyuni yang juga isteri Nazaruddin.

KPK juga memeriksa Ketua Partai Demokrat yang juga tim sukses Anas di Kongres, Umar Arsal. KPK juga meminta keterangan Nuril Anwar dan Eva Ompita yang merupakan staf di DPP Partai Demokrat.

Umar telah membantah adanya aliran dana Hambalang ke kongres partai pemenang Pemilu 2009 itu. Namun bekas Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin mengatakan, ada dana dari proyek Hambalang ke tim pemenangan Anas.

Kata Nazaruddin, tiap Dewan Pimpinan Cabang (DPC) bisa mendapatkan 15 ribu dolar AS hingga 20 ribu dolar AS.

‘’Memang biaya kongres itu tim suksesnya Anas bagi-bagi uang. Memang kan uangnya untuk uang terima kasih, untuk uang transportasi, tapi kan uang transportasinya 15 ribu dolar AS,  20 ribu dolar AS. Sekarang kan yang ditanya KPK uang itu dari mana?’’ kata Nazaruddin.

Menurut Nazaruddin, KPK tinggal melacak kebenaran pernyataan Umar Arsal, tim sukses Anas yang telah diperiksa.

‘’Kecuali memang Pak Umar Arsal punya uang 500 ribu dolar AS, 1 juta dolar AS. Nanti kan tinggal dicocokkan sama KPK dari mana, apakah sesuai dengan kekayaannya. Kalau enggak sesuai kan dari mana duitnya,’’ ujar Nazar.

Nazaruddin menambahkan, uang diambil dari kamar Yulianis, anak buah Nazaruddin, di Hotel Aston. ‘’Uang itu dari proyek Hambalang dan beberapa sumber lain yang sudah saya laporkan ke KPK,’’ katanya.(sof/aga/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook