JAKARTA (RP)- Kado awal tahun berupa ribuan sandal jepit akan diterima Polri. Korps Bhayangkara itu dianggap tak memenuhi rasa keadilan dalam kasus pencurian sandal di Palu, Sulawesi Tengah, yang didakwakan pada AAL, anak 15 tahun. Dalam dakwaannya, jaksa
menyebutkan ancaman hukuman maksimal untuk pencurian sandal yang harganya hanya sekitar Rp20 ribu itu penjara 5 tahun.
Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan, 1.200 sandal jepit akan disampaikan pada Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
‘’Ini kepedulian dari seluruh orangtua di Indonesia,’’ kata Seto, Selasa (3/1). Menurutnya, kasus ini tak selayaknya dilanjutkan ke meja hijau.
‘’Karena pelakunya masih anak-anak dan bisa dilakukan pembinaan oleh orangtuanya,’’ kata Seto.
Kasus pencurian sandal jepit itu terjadi pada November 2010, saat AAL dan dua temannya pulang sekolah. Saat itu ia masih duduk di kelas III SMP.
Mereka lewat di Jalan Zebra, di depan rumah indekos yang salah satunya ditempati polisi bernama Briptu Ahmad Rusdi Harahap.
Saat itu, AAL menemukan sandal merek Ando warna putih dan membawanya pulang. Pada Mei 2011 sekitar pukul 15.00 WITA, saat AAL dan temannya pulang sekolah, Ahmad yang ada di depan rumah indekosnya bertanya pada ketiganya soal sandal yang hilang.
Saat itu, dia menyatakan kehilangan sandal merek Eiger dan sudah tiga kali kehilangan sandal. AAL dan temannya mengaku tak mengambil sandal tersebut.
Tak puas dengan jawaban ketiga anak ini, Ahmad terus bertanya, bahkan memanggil seorang temannya dari Polda Sulawesi Tengah untuk membantu menginterogasi anak-anak itu hingga pukul 23.00. AAL pun mengaku pernah mengambil sandal Ando di jalan dekat kos.
Tak puas, Ahmad minta AAL mengambil sandal itu. Dia mengaku, sandal Ando ini juga miliknya yang hilang beberapa bulan sebelumnya. Kejadian ini diketahui orangtua AAL dan kemudian ada pembicaraan damai. Orangtua AAL menyanggupi mengganti sandal jepit tersebut.
Namun, setelah tahu anaknya memar dipukuli, orangtua AAL melaporkan hal ini ke Bidang Propam Polda Sulteng.
Mungkin karena dilaporkan di Propam dan menjalani sidang kode etik, Ahmad akhirnya melaporkan AAL untuk kasus pencurian sandal jepit.
Pada 20 Desember lalu dimulai proses persidangan.
Sejak itu, muncul gerakan solidaritas mengumpulkan sandal-sandal jepit bekas untuk diberikan pada Polri secara simbolik. Sandal yang terkumpul bermacam-macam ukuran, bentuk dan bahan.
Mulai sandal butut hingga sandal kesehatan. Di Mabes Polri, Kadivhumas Polri Irjen Saud Usman Nasution menanggapi dengan tenang gerakan sandal jepit untuk Kapolri. Bahkan, korps Bhayangkara mengaku siap menerima seluruh sandal.
‘’Kami berterima kasih dan akan membaginya ke mereka yang membutuhkan,’’ kata Saud.
Kasus itu sendiri menurut dia, sudah diselidiki Propam. Hasilnya Rusdi dijatuhi hukuman penundaan kenaikan pangkat dan kurungan tujuh hari. ‘’Mengapa ada sidang, karena itu keinginan orangtua AAL untuk melanjutkan proses hukum,’’ katanya.
Polri minta semua pihak menunggu vonis hakim. ‘’Nanti akan terlihat siapa yang salah dari bukti-bukti. Kalau tidak salah tentu bebas dong,’’ katanya.
Polisi Disanksi
Sementara itu, Briptu Ahmad Rusdi Harahap, pelapor kasus pencurian sandal yang dilakukan AAL, akhirnya memberi keterangan resmi ke media di Mapolda Sulteng, Selasa (3/1). Anggota Brimob Polda Sulteng itu mengatakan, sebelumnya tak ada niat untuk melanjutkan kasus ini ke proses hukum.
Ahmad bersama rekannya, Briptu Simson Jones Sipayung, yang diduga menganiaya AAL, menjelaskan dia ketika itu tak ingin melapor kasus ini ke pihak berwajib.
Sebab, saat itu ayah AAL, Ebert Lagaronda, telah menyatakan bersedia menempuh jalur kekeluargaan dalam rangka pembinaan.
‘’Namun, ternyata keesokan harinya, bapaknya datang lagi ke saya dan menyampaikan bahwa telah melaporkan saya dan rekan saya ke Bid Propam Polda dengan alasan tak menerima anaknya dianiaya dan dituduh mencuri. Orangtuanya sendiri pulalah yang minta anaknya dibuktikan masalah pencuriannya melalui jalur hukum sehingga saya melaporkan kasus ini ke Polsek Palu Selatan,’’ katanya.
Dia juga mengungkapkan bukan hanya sekali kehilangan sandal di tempat kosnya. Namun, baru pada 27 Mei 2011 dia tahu AAL yang mencuri sandalnya.
‘’Ketika itu, memang AAL dan dua temannya yang saya lihat lewat depan kos sebelum sandal hilang. Ketika mereka melintas lagi, langsung saya tanya dan interogasi bersama Simson dan memang benar mereka mengaku yang mencuri sandal saya itu,’’ terangnya.
Sementara itu, Simson yang ikut menginterogasi AAL membantah telah menganiaya pelajar yang baru tamat SMP tersebut. Dia mengaku hanya mendorong tubuh AAL hingga terjatuh ke selokan.
‘’Saya tak ada maksud menganiaya. Saya cuma ingin kasih dia pembinaan karena waktu saya tanya dia sempat berbelit-belit memberi keterangan,’’ sebut Simson.
Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Drs Soemarno menjelaskan, Polda Sulteng telah mengambil langkah-langkah internal terkait laporan orangtua AAL atas dugaan penganiayaan. Juga, terkait penyelesaian kasus pencurian sandal di tahap penyidikan yang ketika itu diurus Polsek Palu Selatan.
Untuk Simson, telah diberi sanksi disiplin berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 priode dan penempatan dalam tempat khusus selama 21 hari karena dugaan penganiayaan yang mengakibatkan AAL luka. ‘’Sementara Briptu Ahmad juga dalam proses sidang disiplin di Sat Brimob Polda,’’ terang Soemarno.
Dugaan penganiayaan yang dilakukan Simson membuat Polsek Palu Selatan juga menyelidiki dugaan kasus pidana tersebut.
‘’Dari kasus ini, kembali ditekankan ke seluruh penyidik di jajaran Polda Sulteng untuk mempedomani kebijakan Kapolda Sulteng tentang 10 tindakan Polri yang meresahkan masyarakat (10 Noda Polisi), di mana salah satunya disebutkan agar melaksanakan penyidikan yang profesional namun dibingkai rasa keadilan, hati nurani, dan kearifan lokal,’’ ujarnya.
Sumbang Sekarung
Simpati warga terhadap Gerakan 1.000 Sandal Bekas untuk Bebaskan AAL terus berdatangan.
Sejak dibuka enam hari lalu di kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jalan Teuku Umar Nomor 10-12, Menteng, Jakarta Pusat, ribuan sandal telah terkumpul.
Salah seorang warga yang bersimpati, Djubaidah (60) yang tinggal di Utan Kayu, bahkan sampai datang ke kantor KPAI menyewa mikrolet. Sebab, dia membawa 80 pasang sandal yang disimpan dalam karung.
‘’Saya hanya ingin keadilan bagi rakyat kecil. Masa hanya curi sandal hukumannya sampai lima tahun. Ini tidak adil,’’ ungkapnya.
Karena banyaknya apresiasi masyarakat, KPAI masih menerima sumbangan sandal bekas.
‘’Rencananya posko dibuka sampai kasus ini selesai,’’ ungkap relawan Posko Budhi Kurniawan dari LSM SOS Children’s Villages Indonesia. Aksi 1.000 sandal ini sebenarnya sudah melampaui target setelah dapat tambahan donasi dari alumni UI 500 sandal.
Sebelumnya, sudah terkumpul sekitar 600 pasang sandal. Rinciannya, 74 pasang dari KPAI, dari Bekasi 110, Cibubur 138, Solo 45, Tangerang 92, Rawamangun 86 dan Cipinang 21.(jpnn)