JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Konsumsi minyak bumi di Indonesia yang terus meningkat tidak diiringi kenaikan produksi di dalam negeri. Akibatnya, neraca dagang minyak dan gas bumi (migas) selalu defisit. Dua minggu setelah dipilih Presiden Joko Widodo sebagai menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM), Arifin Tasrif sudah memiliki sejumlah kebijakan untuk menekan defisit itu.
Salah satunya menggenjot pemanfaatan gas domestik. ”Kami akan coba memanfaatkan gas alam kita untuk dipakai dalam negeri agar bisa mengurangi impor,” ujar menteri kelahiran Jakarta, 19 Juni 1953, tersebut.
Peningkatan pemanfaatan gas domestik itu berjalan optimal bila dibarengi kebijakan yang tepat dalam menentukan harga.
Arifin mengakui, harga gas memang komersial, mengikuti pasar global. Meski begitu, harga gas bumi di Indonesia masih sangat kompetitif sesuai dengan regulasi yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 yang telah disesuaikan melalui Peraturan Menteri ESDM 14/2019.
”Kalau gas itu komersial. Tapi, jika price level gas kita dibandingkan dengan Malaysia, kita itu lebih murah,” ungkap Arifin. Kecuali jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memang lebih murah lantaran memiliki sumber energi dari shale gas.
Arifin juga menggarisbawahi ketetapan harga gas oleh pemerintah yang tidak boleh memberatkan industri penyuplai gas. ”Perusahaan nggak boleh rugi. Harus saling memahami dan mendukung,” ujar lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung itu.
Arifin memastikan, tak ada kenaikan harga gas industri hingga akhir 2019. Keputusan tersebut ditetapkan berdasar pertimbangan daya saing industri dalam negeri. Tujuannya, dalam situasi kondisi ekonomi yang berat, industri masih kompetitif lantaran juga menyerap banyak tenaga kerja.
Mantan direktur utama PT Pupuk Indonesia (Persero) itu bersinergi dengan sejumlah pihak terkait. Sepekan setelah dilantik, Arifin melakukan rapat dengan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Erick Thohir di kantor Kementerian ESDM. Keduanya membahas percepatan kilang, implementasi B30, upaya meningkatkan lifting dengan teknologi, dan sebagainya.
Mereka juga mencari sinergi terbaik untuk menurunkan defisit neraca perdagangan dan meningkatkan perekonomian nasional. Program implementasi B30 atau campuran 30 persen biodiesel pada minyak solar tahun depan memang menjadi salah satu cara mengurangi impor BBM. ”Untuk B30 sudah siap. Ini tinggal (memastikan, Red) suplainya, tinggal dijalankan,” jelas Arifin.
Saat ini minyak bakar jenis solar di pasaran telah dicampur dengan bahan bakar nabati (biodiesel) sebanyak 20 persen atau yang disebut B20. Kesiapan yang disampaikan Arifin itu tak lepas dari hasil uji coba penggunaan B30 pada kendaraan bermesin diesel. Setelah di-launching pada 3 Juni 2019, uji jalan menggunakan B30 dilakukan pada kendaraan uji kurang dari 3,5 ton dan lebih dari 3,5 ton.
Hasilnya, pada kendaraan uji kurang dari 3,5 ton, tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja kendaraan yang menggunakan bahan bakar B30 dibanding B20 yang sudah diimplementasikan selama ini. Sementara kendaraan besar (lebih dari 3,5 ton) masih menyelesaikan tahapan uji jalan.
Selain pengurangan impor, ketahanan energi menjadi salah satu aspek yang ditekankan mantan duta besar Indonesia untuk Jepang itu. Menurut Arifin, proyek pembangunan kilang minyak baru (new grass root refinery/NGRR) dan pengembangan kapasitas (refinery development master plan/RDMP) kilang memiliki nilai strategis. Pembangunan dan pengembangan kilang tersebut akan membuat ketahanan energi menjadi lebih baik. Proyek kilang itu harus berjalan setelah bertahun-tahun tidak memiliki kejelasan.
”Kalau kita tidak punya kilang, ada beberapa hal yang bisa memengaruhi. Jika terjadi short of supply yang mendadak, kita terpaksa cari ke pasar yang terkadang harganya mahal. Tetapi, kalau ada di sini (dalam negeri, Red), kan harganya stabil terus,” tuturnya.
Saat ini terdapat enam proyek RDMP dan NGRR untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan bakar minyak (BBM). Enam proyek tersebut adalah RDMP Cilacap, RDMP Balikpapan, RDMP Balongan, RDMP Dumai, NGRR Tuban, dan NGRR Bontang. Produksi kilang nasional saat ini sekitar 1 juta barel per hari diharapkan meningkat menjadi 2 juta barel per hari.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman