JAKARTA - Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandry, menyatakan, tuntutan agar seluruh aparat penegak hukum mampu berkolaborasi dengan apik dalam upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, kini mendapatkan ujian serius.
Ronald menyatakan, langkah menghentikan penggeledahan secara sepihak hingga menghalang-halangi proses penyitaan barang bukti diperlihatkan sejumlah petugas kepolisian, saat penyidik KPK menggeledah Kantor Korlantas Polri di Jakarta, terkait kasus dugaan korupsi simulator.
Padahal, menurut dia, KPK sendiri sudah mengantongi surat penetapan pengadilan terkait izin penggeledahan, dalam rangka penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian SIM.
Ia menyatakan, PSHK memberikan beberapa catatan kritis sebagai respon atas tindakan kepolisian dan perkembangan terakhir kasus dugaan korupsi Korlantas Polri ini. Termasuk proses penanganannya yang kini harus dilakukan bersama oleh Polri dan KPK.
"Pertama, Polri sebagai penegak hukum harus taat hukum dan mematuhi peraturan perundang-undangan," kata Ronald, Jumat (3/8).
Dijelaskan, pasal 50 ayat (3) dan (4) UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, jika KPK sudah dahulu melakukan Penyidikan, maka Polri atau Kejaksaan tidak berwenang lagi.
"Atau jika Penyidikan dilakukan bersamaan, maka Polri atau Kejaksaan harus menghentikan penyidikannya," kata Ronald.
Kedua, Ronald menyatakan, Polri tidak boleh menghalang-halangi penyidikan KPK. "Polri harus menunjukan sebagai institusi yang pro pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya," kata dia.
Ronald menilai juga, sikap arogan Polri seolah tidak mau tunduk di bawah UU yang telah mengatur kewenangan KPK, dapat membahayakan dan merusak kondisi penegakan hukum, dan mengganggu sendi-sendi negara hukum. (boy/jpnn)