Riau Pos Online - Komisi I DPR yang membidangi pertahanan tak kaget dengan maraknya penolakan atas Rancangan Undang-undang (RUU) Komponen Cadangan (Komcad) yang akan menjadi payung gukum pelaksanaan wajib militer (wamil). Alasannya, karena RUU usulan pemerintah itu bukanlah prioritas dan pasal-pasalnya justru dianggap diskriminatif.
Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, mengungkapkan, RUU Komcad merupakan inisiatif pemerintah yang diserahkan kepada DPR pada 2010 lalu. Selanjutnya, Komisi I DPR pun melakukan sosialisasi RUU itu ke masyarakat, akademisi dan pakar-pakar pertahanan, termasuk para purnawirawan TNI.
Namun, reaksi yang muncul justru negatif. Hasanuddin menjelaskan, beberapa tokoh senior dan para pensiunan TNI berpendapat justru yang lebih penting adalah grand strategi dan rencana strategis pembangunan TNI ke depan setidaknya sampai 2024 melalui terwujudnya Minimum Essential Forces (MEF).
"Dan dihadapkan dengan kemungkinan tidak adanya ancaman agresi militer 10 sampai 15 tahun ke depan, dengan kekuatan TNI yang 420 ribu ditambah peremajaan alutsista (alat utama sistem persenjataan, red) serta perlunya perbaikan kesejahteraan para prajuritnya, maka wajib militer berupa komponen cadangan tidak harus menjadi prioritas," kata Hasanuddin di Jakarta, Minggu (2/6).
Mantan Sekretaris Militer Kepresidenan yang kini jadi politisi PDI Perjuangan itu menambahkan, penolakan lain atas RUU Komcad tentu didasari pada pasal-pasal usulan pemerintah. Misalnya ketentuan tentang wajib militer bagi PNS dan buruh. "Ini dianggap diskriminatif. Mengapa hanya PNS dan pekerja saja? Mengapa untuk artis atau mungkin pengusaha tidak kena wajib militer?" ulasnya.
Selain itu, lanjut Hasanuddin, pasal ancaman hukuman terhadap PNS dan buruh yang menolak wajib militer juga dianggap sebagai perampasan terhadap kemerdekaan seseorang. "Ada pasal tentang ancaman setahun penjara bagi pihak yang menolak menyerahkan sumber daya untuk Komcad. Pasal ini dianggap sebagai perampasan terhadap hak milik perorangan," pungkas pensiunan TNI lulusan Sorbonne University, Prancis itu.(ara/jpnn)