PENAKIK BANTING STIR KARENA HARGA MURAH

Harga Karet Tak Bisa Lagi Diandalkan

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 03 Januari 2019 - 10:00 WIB

BANGKINANG (RIAUPOS.CO)-Meningkatnya angka kemiskinan di Riau bukan isapan jempol. Rendahnya harga karet di tingkat petani benar-benar menggerus kesejahteraan petani, termasuk di Kampar. Banyak petani pemilik lahan dan buruh harian lepas memilih banting stir.

     Hamidi (47) terlihat santai duduk di samping rumahnya di Dusun Teratak, Desa Sipungguk Kecamatan Salo, Rabu (2/1) siang. Dia terlihat bingung. Penampilan kusut tidak bisa disembunyikannya. Namun, senyumnya merekah saat disapa Di rumah yang sangat sederhana itu, dirinya menumpahkan keluh kesahnya selama enam bulan terakhir harga karet anjlok.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

     Herman, hanya seorang buruh harian lepas. Pada pertengahan tahun lalu dirinya masih menakik karet milik salah sorang warga. Tapi setelah itu, dia tidak lagi bisa menakik. Karet berisi, tapi harganya menyayat hati. Hingga pemilik kebun enggan membagi dengannya, bahkan pemilik sendiri malas-malasan karena harga yang tidak seberapa.

    Ayah tiga anak itu mengharapkan ajakan warga untuk menebas, itu pun kalau ada. Kalau tidak ada dirinya kadang bantu-bantu menukang. Tidak hanya pendapatan dari upah menakik yang hilang. Sang istri yang biasanya ikut ke kebun karet untuk memungut kecambah, ternyata juga tidak laku di pasar. Hal ini membuat Hamidi semakin bersedih.

    ‘’Sekarang harganya tinggal Rp5.600 per kilogram.

Dulu banyak yang mengajak menakik, tapi sekarang payah. Sudah hampir enam bulan tidak ada pemilik kebun yang mengajak. Yang punya sekarang memilih menakik sendiri, banyak juga yang diabaikan saja,’’ sebut Hamidi.

    Besar harapan Hamidi agar harga karet anaik kembali. Kerja serabutan membersihkan sawah dan kebun masyarakat sekitar desanya sangatlah tidak menentu hasilnya. Kadang ada, kadang tidak ada. Kalaupun ada upahnya menurutnya tidak seberapa. Rendahnya harga karet tidak hanya berdampak atas kehilangan pekerjaan, tapi juga daya beli masyarakat.

     ‘’Dulu apapun yang dijual di pasar akan habis, sekarang istri saya menjual, banyak yang tidak laku. Dulu hasil cocok tanam bisa menambah penghasilan, sekarang benar-benar susah laku di pasar. Tidak bisa lagi menambal keperluan,’’ kata Hamidi.

     Keluhan serupa juga diungkapkan Jamil (44), warga Desa Sipungguk. Kebun karetnya yang seluas 1 hektare kini hampir tidak berarti apa-apa. Hingga dirinya harus meninggalkan aktivitas menakik karetnya dan fokus mengambil upah menukang. Karena hasil panen karet tidak lagi menjamin kehidupan istri dan anaknya yang masih sekolah.

    ‘’Sekarang yang menakik istri saya. Kalau dulu kami fokus berdua menakik saat harga masih bagus. Kalau sekarang, kalau masih tetap menakik pilihannya cuma ada dua. Kami tidak makan atau anak tidak sekolah. Makanya sekarang istri menakik, saya pergi menukang,’’ sebut Jamil.

     Ternyata, jasa pertukangan juga sangat bergantung pada hasil komoditas perkebunan dan pertanian. Saat ini menurut Jamil, sangat sedikit proyek pembangunan yang ada di Kampar. Menurutnya, saat dirinya masih fokus menakik, harga karet masih sekitar Rp7 ribuan per kilogram. Itupun masih jauh dari ideal. Harga ideal dengan lahan 1 hektare karet minimal Rp10 ribu.

     ‘’Sekarang ini karet murah, yang membangun juga sedikit. Kalau ini tidak juga berubah, terpaksa lagi ke Malaysia mencari kerja. Sekarang di Salo, masih banyak masyarakat yang merantau ke Malaysia. Kalau sudah pusing tidak ada cara lain. Anak mau sekolah, istri juga butuh makan,’’ sebut Jamil, saat bersiap menjemput anaknya pulang sekolah.

     Soal minimnya pembangunan ini juga diakui oleh rekan Jamil, Herman (55), warga Dusun Teratak, Kecamatan Salo. Menurut Herman, sudah setahun terakhir dirinya sangat minim mendapat proyek pembangunan. Dirinya masih teringat ketika karet masih sekitar Rp10 ribu lalu. Dirinya mengaku hampir tidak pernah libur menukang di kawasan kampungnya di Salo.

     ‘’Dulu tak berhenti orang membangun dan renovasi rumah. Ada saja orang mengajak. Itu kalau harga karet mahal di kampung kami. Semuanya, ekonomi itu memang terasa lambat bergeraknya. Dulu itu bahkan sempat harga karet Rp19 ribu per kilogram, sekitar empat atau lima tahun lalu memang enak jadi tukang,’’ sebut Herman.

    Diberitakan sebelumnya di koran ini, angka kemiskinan di Riau sepanjang 2018 meningkat. Dari 496.390 jiwa pada 2017 menjadi 500.400 jiwa pada 2018. Jumlah ini meningkat sekitar 4.010 jiwa. Beberapa faktor penyebabnya adalah turunnya harga komoditas utama di Riau, karet dan sawit.(mng)

(Laporan HENDRAWAN, Bangkinang).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook