Lebih lanjut, dia mengungkapkan, ada dua kategori pekerjaan yang rentan dirumahkan oleh perusahaan. Selain para pekerja di bidang eksplorasi, tim supportive perusahaan disebutnya paling memungkinkan untuk dikurangi demi efisiensi. ’’Misalnya, yang dulu dua orang dijadikan satu orang aja,’’ terangnya. Meski ada pengurangan pekerja, dia memastikan proses operasional dan produksi tetap jalan. Jadi, tidak sampai ada perusahaan minyak yang tutup atau berhenti berproduksi. ’’Pertimbangannya tidak sama dengan menyetop produksi sepatu yang besok bisa dinyalakan lagi dengan mudah,’’ ucapnya.
Untuk faktor yang membuat industri migas tidak segera tutup buku, menurut dia, ada beberapa macam. Mulai reservoir sampai proses penyetokan produksi yang membutuhkan waktu untuk dieksplorasi. Selain itu, tidak gampang mendapatkan kualifikasi orang dan tim yang tepat untuk menjalankan dua proses tersebut. Produsen minyak, tutur dia, berharap agar kondisi buruk itu cepat berlalu. Paling tidak, harga pasaran tidak anjlok terus-menerus.
Prediksi dari pakar juga tidak banyak membantu karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hingga kini, dia meyakini tidak ada seorang pakar pun yang mampu memprediksi secara akurat.
‘’Banyak yang bilang bahwa harga bisa naik 80 dolar AS per barel, ternyata tidak,’’ tuturnya. Terus anjloknya harga minyak dunia memang bukan isapan jempol. Berdasar harga yang dirilis Nasdaq, saat ini minyak mentah jenis WTI dijual pada level 41,23 dolar AS per barel. Dalam tiga bulan terakhir, harga tertinggi hampir menyentuh 51 dolar AS per barel. (dim/c20/tia/jpg)