JAKARTA (RIAUPOS.CO)- Sebagian negara yang ekonominya ditopang sektor industri mulai bergerak ke arah revolusi industri 4.0. Termasuk Indonesia yang tengah berupaya mentransformasikan industri-industri untuk bergerak ke era industri 4.0. Yaitu, era industri yang banyak mengandalkan otomasi dan konektivitas dalam produksinya.
Revolusi industri 4.0 bukan langkah untuk menutup 100 persen keran impor. Namun, industri 4.0 bisa memberikan peluang bagi produk dalam negeri untuk lebih berdaya saing.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara menegaskan, industri 4.0 dapat mendatangkan dampak positif bagi industri dalam negeri. Sebab, untuk menuju industri 4.0, pemerintah berfokus memperkuat sektor hulu.
’’Dengan struktur hulu yang kuat, kami juga akan memperbaiki alur aliran barang sehingga hilir pun bisa menjadi efisien. Zona industri pun didesain lebih efisien untuk menarik investor,’’ ujar Ngakan dalam workshop Pendalaman Kebijakan Industri di Jogjakarta, Kamis (30/8).
Dia menegaskan, revolusi industri 4.0 tidak bertujuan menghentikan impor. Sebab, saat ini semua negara telah terlibat dalam global supply chain. Termasuk Indonesia yang produksi industri andalannya masih bergantung pada bahan baku impor.
’’Kadang kita perlu impor karena kalau kita buat sendiri bisa jadi tidak efisien. Karena itu, kita datangkan dari luar. Tapi, yang penting, di dalam negeri bisa dilakukan nilai tambah yang tinggi,’’ jelas Ngakan.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka Kementerian Perindustrian Muhdori menegaskan, dalam rangka memperkuat hulu industri, impor bahan baku tetap penting dilakukan. ’’Impor untuk garmen itu tidak apa-apa. Asalkan, itu bahan baku untuk produksi bahan jadi yang memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor,’’ ujarnya.
Dari impor bahan baku kain, 30 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakaian jadi dalam negeri, sedangkan 70 persen lainnya untuk ekspor.
Hal itu menunjukkan bahwa industri tekstil garmen masih memiliki peluang besar.(agf/c5/oki/jpg)