JAKARTA (RP) - Para pengguna jasa angkutan umum harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam. Ini terkait dengan sikap pemerintah yang sudah memberi lampu hijau untuk kenaikan tarif angkutan.
Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan, pemerintah memberi persetujuan kenaikan tarif angkutan bukan karena rencana naiknya harga BBM. Tapi, karena tarif angkutan umum sudah empat tahun tidak naik.
"Selama ini kan ditahan (kenaikannya)," ujarnya di sela acara Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta kemarin (30/4).
Menurut Mangindaan, tarif angkutan umum memang sudah seharusnya disesuaikan dengan kondisi saat ini, karena harga suku cadang atau spare parts kendaraan bermotor juga terus naik.
Akibatnya, biaya yang harus ditanggung pengelola angkuta umum juga terus naik. "Jadi, tanpa BBM (naik) pun, (kenaikan tarif) ini sudah sepatutnya dilakukan," katanya.
Berapa besaran kenaikannya? Mangindaan menyebut, besaran kenaikan tarif angkutan memang masih akan menunggu kepastian berapa besar kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebab, hal itu juga akan menjadi acuan kalkulasi.
"Kita harapkan tidak akan signifikan. Kami sudah ketemu (pengelola angkutan umum), kalau naik juga kecil," ucapnya.
Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, selain opsi apakah kenaikan harga BBM berlaku pada mobil pribadi atau seluruh kendaraan, tarif angkutan umum merupakan salah satu faktor yang cukup dominan dalam pembentukan inflasi.
"Tarif angkutan umum memiliki kaitan inflasi dengan banyak komoditas lain," ujarnya.
Dalam kajian imbas inflasi yang sudah dibuat BI beberapa waktu lalu, kenaikan harga BBM bersubsidi untuk mobil pribadi akan berdampak langsung pada inflasi sebesar 0,62 persen.
Jika tarif angkutan ikut naik, maka akan ada tambahan inflasi 0,78 persen. Selain itu, ada pula dampak inflasi tidak langsung pada harga komoditas lain sebesar 0,23 persen. "Jadi, total inflasi akan mencapai 1,63 persen," katanya.
Menurut Perry, inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga BBM subsidi diperkirakan hanya akan sementara atau jangka pendek. Meski demikian, dampaknya bisa memberatkan masyarakat masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.
"Jadi, pemerintah harus menyusun program untuk meminimalisir dampaknya," ucapnya. (owi)