EKSISTENSI dan kontribusi pondok pesantren dalam lintas sejarah Indonesia ada sejak zaman penjajahan, ikut merebut dan mengisi kemerdekaan, bahkan sampai saat ini tak bisa dibantah. Keberadaannya sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan indigenious (asli) Indonesia telah berkontribusi dan bahkan diadopsi di beberapa negara.
Namun, sungguh mengejutkan berita atas data yang menyebutkan indikasi terorisme susupi pondok pesantren. Kabar tersebut bisa benar atau bisa juga salah. Beberapa hari ini stigma pondok pesantren ramai dibicarakan, terutama data dari BNPT yang menyebut "beberapa pesantren disusupi paham teorisme".
Tentu data ini perlu disikapi secara bijak, bukan saling menyalahkan. Sebab, tak mungkin BNPT mengungkap tanpa data. Hanya saja, apakah indikator yang dirumuskan memiliki kesamaan pemahaman antara BNPT dan tradisi pesantren. Namun, bisa jadi indikator dimaksud memiliki kelemahan makna yang dimaksud. Bisa jadi perbedaan tersebut akibat berbedanya pemahaman atas suatu indikator yang digunakan. Demikian pula dari perspektif komunitas masyarakat pesantren dituntut inklusif dan disikapi secara bijak atas data ini.
Logika silogis-mantik sederhana, semua pisau prinsipnya senjata berbahaya. Jadi, semua yang membawa pisau adalah sosok yang membahayakan. Namun, logika ini perlu dilihat secara komprehensif.
Indikator pisau sebagai senjata berbahaya perlu didudukkan secara sosiologis dan fungsi. Sebab, secara sosiologis, bagi budaya masyarakat tertentu, membawa pisau merupakan lambang kedewasaan. Bahkan, bagi yang tak membawa pisau dianggap "jumawa" dan simbol kesombongan.
Dalam perspektif ini, pisau bukan alat yang berbahaya, namun simbol preventif agar tidak terjadi kejahatan. Dilihat secara fungsi, bagi pedagang ikan atau daging, pisau menjadi keniscayaan untuk menunjang pekerjaannya mencari rezeki. Hanya saja, secara teori pisau alat yang membahayakan juga tak bisa dibantah.
Agaknya, semua elemen perlu bersikap bijak atas persoalan di atas, antara lain: pertama, perlu disusun indikator secara jelas dan diketahui semua pihak. Dengan indikator yang dipahami bersama, maka akan terhindar bak si buta mengenal gajah yang berujung pada debat kusir yang tak berkesudahan. Mungkin ada yang termasuk pada indikasi yang disusun. Namun, perlu langkah-langkah strategis dan bijak untuk bisa mengatasinya.
Kedua, indikasi perlu dilakukan berbagai pendekatan dan pembinaan sebelum dipublikasi. Bukan publikasi kemudian pembinaan. Sebab, marwah lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan perlu dihargai dan dijaga. Jangan sampai apa yang dilakukan pondok pesantren selama ini mencederai. Bak pepatah "kemarau setahun hilang karena hujan setengah hari".
Bila stigma masyarakat terpengaruh, upaya memulihkannya memerlukan waktu yang lama atas kridibelitas semua pihak. Tak semua informasi patut dipublikasikan, dan tak semua yang dipublikasikan patut dipercaya sebagai kebenaran tunggal, kecuali hanya keyakinan (agama).
Ketiga, menyebutkan pesantren yang terpapar paham terorisme secara valid, bukan secara general. Bila terdapat indikasi pada segelintir, bukan berarti mewakili keseluruhan. Jangan sampai bak pepatah "akibat nila setitik, rusak susu sebelanga". Tindakan preventif dan kuratif perlu dipikirkan bersama-sama.
Di pihak lain, bila data yang dipaparkan BNPT benar, hal ini perlu dijadikan bahan untuk melakukan perbaikan ke depan. Apa yang dilakukan BNPT bagian dari kepedulian untuk mawas diri guna perbaikan masa yang akan datang. Data tersebut jadikan "nasehat bak jamu pahit". Mungkin selama ini lupa atas jamu yang seyogyanya dikonsumsi agar tubuh sehat. Sebab, proses pembuatan jamu yang panjang dan dikalahkan oleh minuman instan dalam kemasan yang bagus.
Ada beberapa yang patut dilakukan, antara lain: pertama, jamu bagi Kementerian Agama untuk memperkuat pengawasan atas pondok pesantren yang mungkin agak longgar. Bagai sosok orang tua, jangan sampai orang yang tahu dan menghukum "kenakalan" anaknya. Meski umumnya kenakalan anak yang melihatnya orang lain. Mungkin saja keterbatasan orangtua dalam melakukan pengawasan, atau sibuknya orangtua "bekerja dan berkarir" yang mengakibatkan anak tak sempat diperhatikan.
Kedua, memantapkan khitah pondok pesantren. Sebab, upaya Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Ampel) mendirikan sebuah padepokan di Ampel (peletak dasar-dasar pendidikan pesantren) jangan sampai dihilangkan. Pendidikan dasar agama Islam yang sebenarnya, kesederhanaan dan keikhlasan yang diajarkan merupakan nilai utama yang patut diteladani dari ajaran kehidupan pesantren.
Sungguh negara berhutang budi pada pondok pesantren. Bayangkan bila lembaga ini tak hadir guna membantu negara melaksanakan amanah Proklamasi dan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perlu kearifan semua pihak atas semua ini. Pèmberitaan yang viral perlu diminimalkan. Bila tidak, kegaduhan ini akan menyita waktu dan energi untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang demikian banyak. Namun, upaya preventif tetap perlu dilakukan.
Bila benar, Kementerian Agama perlu proaktif atas data BNPT tersebut. Ambil posisi kedua orangtua. Bila ada anaknya yang salah, biarlah orangtua yang memberi hukuman. Sebab, bila anak justru dihukum orang lain, irisan hati akan semakin pedih
Semoga "musibah" ini segera terselesaikan dengan bijak, tanpa mengedepankan egoisme sektoral yang akan bermuara pada pemandangan negatif yang akan dilihat generasi negeri ini. Jadikan persoalan ini sebagai pembelajaran. Tak ada yang sempurna dan paling mulia. Semua elemen memiliki peluang melakukan kesalahan, bahkan potensi teorisme.
Jangan merasa hina bila salah. Namun, jangan pula merasa paling mulia bila benar. Semua manusia ada aibnya. Hanya saja, Allah belum bukakan aib yang dimiliki. Andai semua manusia Allah buka aibnya, maka manusia tak akan ada yang berani saling menatap. Hanya mampu tertunduk malu atas aib diri. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
*) Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis