SETIAP tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila. Secara historis, lahirnya Pancasila berpijak pada pidato yang disampaikan Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 silam. Dalam pidato tersebut, konsep dan rumusan awal Pancasila dikemukakannya sebagai dasar negara merdeka.
Awalnya, pidato ini disampaikan secara aklamasi tanpa judul. Namun, atas gagasan Dr Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI), pidato tersebut diberi judul “Lahirnya Pancasila”. Pidato yang berisi gagasan mengenai dasar negara Indonesia diterima oleh para anggota BPUPKI dalam sidang pada 1 Juni 1945. Sidang tersebut dilakukan di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta (Gedung Pancasila). Akhirnya, Pancasila dinyatakan sah dan resmi dijadikan sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945.
Usulan Dr Radjiman Wedyodiningrat memberi judul tersebut pasti memiliki maksud dan menyadari kedalaman makna filosofi butir-butir yang terkandung dalam naskah yang dirumuskan oleh putra-putra terbaik negeri ini dan dibacakan oleh Soekarno. Kelima butir sila pada Pancasila tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah. Kelima sila merupakan satu kesatuan utuh, saling berkaitan, dan saling melengkapi. Ketika salah satu butir dipisah, maka eksistensinya akan kehilangan makna.
Ketika dianalogikan pada biologis manusia, butir-butir Pancasila bagai kelima jari.
Ada beberapa nilai luhur kelima butir sila pada Pancasila bila dianalogikan dengan filosofi lima jari (tangan), antara lain, pertama, kelima jari merupakan satu kesatuan. Ia akan mampu beraktivitas tatkala kelima jari sempurna dan bekerja sama. Kesempurnaan kelima jari terletak ketika kelimanya saling bekerja sama sesuai fungsi dan tugasnya. Setiap jari tak pernah merasa lebih mulia, hebat, unggul, apatahlagi lebih istimewa. Setiap jari berinteraksi dan manunggal dalam satu kesatuan tujuan. Bahkan, harmonisasi kelima jari dapat menimbulkan suara indah bila bertemu (bertepuk tangan). Namun, tatkala kelima jari tak hermonis, maka tak ada suara yang mampu dikeluarkan, apatahlagi kekuatan yang dimunculkan.
Kedua, kelima jari berbeda bentuk, ukuran, dan fungsi. Di sinilah terlihat dimensi Eka Prasetia Panca Karsa (janji atau tekad yang bulat untuk melaksanakan lima kehendak) bagi tercapainya tujuan kehidupan manusia. Perbedaan bentuk, ukuran, dan fungsi bersinergi menjadi kekuatan dasyat membangun peradaban. Bahkan, perbedaan tersebut menjadikan tangan demikian indah. Perbedaan tak membuat saling merasa mulia atau dipandang hina. Perbedaan justeru membangun kekokohan ketika kelima jari bersatu.
Ketiga, kelima jari tak pernah berpangku tangan, tak pernah saling membinasakan, apatahlagi saling iri dan memusuhi. Semua saling melengkapi, bukan menggerogoti. Semua saling bekerja, bukan menista. Semua saling membangun, bukan meruntuhkan. Semua saling menghormati, bukan menyakiti.
Keempat, kelima jari saling menjaga, bukan saling mengusik, menganiaya, menjagal dan menjegal. Kelimanya sadar tak bisa melakukan aktivitas tatkala tanpa kesatuan kelima jari. Kelimanya padu dan saling melengkapi. Ketika salah satu jari terluka, semua jari akan merasakan sakit dan berupaya saling menyembuhkan.
Kelima, kelima jari saling terikat oleh pergelangan yang mampu menyatukan kelimanya dalam menggapai tujuan bersama. Demikian halnya kelima butir Pancasila saling terikat dalam kesamaan tujuan dan menyatukan perbedaan dalam kebersamaan. Hal ini tersimpul dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika yang dicengekeram erat Sang Garuda "pembawa kelima sila Pancasila" agar tak pernah longgar, apatahlagi lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buah kesatuan dan harmonisasi kelima jari akan mampu menyejahterakan manusia dalam menunjang aktivitas dan mengisi peradaban. Simbol kesatuan kelima sila Pancasila yang mampu membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketika kesejahteraan dan kebahagiaan belum mampu tercapai, meski kelima jari tetap utuh di dada sang Garuda, berarti ada sesuatu yang perlu dipertanyakan dan dicari simpul masalah atas kegagalan memahami filosofi kelima jari. Ada beberapa kemungkinan yang perlu dibongkar atas kegagalan memahami kelima jari tersebut. Namun, pertanyaan bukan pada lima jari yang menjadi biang persoalan, tapi diri si pemilik dan pemakai kelima jari yang perlu dipertanyakan, antara lain, Pertama, ketidakmampuan atau ketidakpahaman pemilik dan pemakai jari menggunakan dan menggerakan kekuatan kelima jari dalam kehidupan.
Bila hal ini terjadi, ada pilihan: (1) pemakai jari perlu belajar memahami makna kelima jari, jangan sok pintar, apatahlagi berlindung melalui jargon "pemilik jari", namun dalam realita meninggalkan kelima jari dalam membangun peradaban. (2) pemakai jari sebaiknya "mundur" sebagai manusia yang punya jari karena ketidakpahaman dan meniadakan (bahkan menginjak-injak) kekuatan jari-jarinya. Manusia seperti ini perlu diwaspadai. Sebab, meski memiliki kelima jari dan mengakui eksistensi kelima jari, namun meniadakan kelima jari dalam seluruh aktivitasnya. Atau secara hiden berupaya membangun "jari-jari" lain untuk menggantikan kelima jari. Bila hal ini tak diwaspadai, tipe ini akan menjadi bahaya laten yang mengancam eksistensi kelima jari dan kemanusiaan.
Kedua, pemakai jari dengan sengaja telah meninggalkan atau memotong salah satu atau beberapa jarinya. Akibat ketakmampuannya membelikan cincin untuk jari manis, maka jari manis dipotong untuk menutupi kelemahan dirinya. Atau ketika jari telunjuk tak mampu menunjuk, maka perlu dihilangkan. Kesengajaan meninggalkan jari yang dianggap menjadi hambatan mencapai hasratnya merupakan kejahatan yang patut diwaspadai.
Ketiga, pemilik jari tak lagi memelihara salah satu atau beberapa jarinya yang berakibat jari tak mampu melaksanakan tugasnya. Ketika salah satu jari sakit, ia tak peduli dan membiarkan jari tersebut sakit tanpa perlu diobati. Akibatnya, jari yang sakit akan semakin parah dan tak mampu melaksanakan tugasnya. Ketika hal ini terjadi, pemakai jari punya alasan mengganti jari karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. Kesalahan selalu ditimpakan pada jari, bukan pemilik jari yang tak mau merawat kelima jarinya.
Keempat, pemilik jari tak mempercayai kemampuan jari-jarinya melaksanakan tugas menyempurnakan fungsi tangan. Bisa jadi pemakai jari tak percaya bila jari telunjuk bisa melaksanakan tugas untuk menunjuk arah. Ia curiga bila jari telunjuk khianat menunjuk arah yang tak diinginkan. Kecurigaan tersebut digerakkan oleh perilaku pemakai jari yang khianat. Akibatnya, cermin diri pemiliknya yang khianat dijadikan standar melihat semua jari yang dicurigai seperti perilaku dirinya.
Kelima, kebingungan atau kebodohan pemilik jari memfungsikan masing-masing jari-jarinya. Jari kelingking digunakan mengangkat beban berat, jari telunjuk dipasang cincin, jari manis untuk menunjuk arah, jari tengah untuk menyatakan kehebatan, dan jari jempol untuk membersihkan kotoran hidung dan telinga. Kesemua jari berubah fungsi dan tugas karena pemilik jari tak ingin jari-jari dianggap hebat. Ia tak ingin kelihatan bodoh dan hidup di bawah kehebatan jari-jari yang mampu menyelesaikan aktivitas manusia. Namun, ketika masing-masing jari gagal melaksanakan tugasnya, maka pemilik atau pemakai jari-jari akan menyalahkannya dan punya alasan untuk menggantikan (memotong) atau menukar jari-jari dengan "plastik atau jari lain" yang diinginkan sesuai selera dan tujuannya.
Demikian makna majas kelima sila Pancasila memuat makna filosofi yang dalam bagi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang mensejahterakan.
Kesemua sila saling melengkapi dan mewarnai. Bagai kelima jari. Ternyata kelima jari-jari memberikan fungsi atau tidak tergantung pada pemilik atau pemakai jari-jari. Jika si pemakai jari sosok yang rajin dan amanah, maka jari-jari akan digunakan untuk bekerja dengan giat dan amanah atas pekerjaan yang dilakukan. Tapi, bila si pemakai atau pemilik jari sosok pemalas dan khianat, maka jari-jari akan digerakan untuk berpangku tangan atau dijadikan tempat berlindung untuk mengerjakan perbuatan khianat. Meski si pemilik jari berteriak aku sang pemilik dan penjaga lima jari, belum tentu sesuai makna yang dibawa masing-masing jari-jari.
Namun, lihatlah realita perilaku pemilik jari, apakah sesuai dengan tujuan hidup kelima jari. Apakah kelima jari dipakai untuk merampok dan menzalimi, atau kelima jari dijadikan untuk membangun kesejateraan seluruh anak negeri. Menjaga lima jari tak cukup sekedar teriakan atau membalut kelima jari dengan balutan emas. Tapi, menjaga lima jari dengan meletakkan kelima jari sesuai fungsinya untuk dasar dan gerak seluruh kehidupan.
Sungguh, dengan lima jari manusia bisa melaksanakan kehidupan yang sejahtera. Namun, akibat keserakahan dan kejahilan manusia tak mampu menggunakan kelima jarinya, justeru kelima jari selalu di kambing hitamkan. Kelima jari saja tak mampu dimanfaatkan secara baik, tapi kejahilan manusia ingin menambah atau menukar jari-jari sepeda untuk memperlancar aksi khianatnya agar mudah dicari sandaran pembenaran atas kesalahan yang dilakukan. Sebab, semakin banyak jari-jari (bagai jari-jari sepeda), maka akan semakin banyak "peluang tafsir-tafsir jahiliah" agar terhindar dari jeratan hukum yang dilanggarnya. Atau memangkas kelima jari dengan menyisakan jari jempol sebagai jari tunggal.
Maksudnya menyisakan jari jempol agar mudah untuk menyatakan "kehebatan" pada semua aktivitas diri tanpa mau peduli yang dilakukan baik atau buruk, benar atau salah. Semua hanya muncul satu komando jari jempol, sebab jari-jari lain telah dipotong dan ganti menjadi jari tunggal yang namanya jari jempol.
Teriakan "aku cinta lima jariku" mutlak diperlukan. Tapi, hal tersebut beriringan dan berkorelasi dengan apa yang dilakukan atas kelima jari tersebut sebagai wujud cinta atas lima jariku. Apakah aku telah memelihara dan menjadikannya sebagai alat mewarnai kehidupan, atau meninggalkan kelima jari dengan berpindah pada media lain sebagai standard acuan aktivitas yang dilakukan meski kelima jari terus dibawa sebatas asesoris belaka.
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila ke-77 (1 Juni 1945--1 Juni 2022). Meski tak perlu selalu kuteriakkan untuk membuktikan loyalitasku, tapi kelima sila yang engkau miliki selalu jadi ruh dan pedoman dalam derap langkahku. Selama merah darahku dan putih tulangku, kelima amanatmu kan kujaga selalu. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis.