GELAS dan hati seakan tak berkorelasi. Meski seakan tak berhubungan, namun bila di kaji lebih teliti, ternyata keduanya berkorelasi dengan kehidupan. Gelas merupakan benda di luar diri manusia. Ia sangat penting sebagai media ketika manusia ingin minum. Sedangkan hati merupakan organ penting dalam diri dan sangat vital bagi kelangsungan hidup setiap manusia.
Meski keduanya berbeda secara materi, sifat, dan fungsi, namun kedua berkorelasi dan mampu menunjukkan indikator karakter diri setiap manusia, antara lain :
Pertama, Gelas simbol niat dan bentuk amal (perilaku). Isian air akan berbentuk sesuai bentuk gelas. Bila gelas berbentuk oval, maka oval bentuk air, bila segi empat bentuk gelas, maka air pun akan berbentuk segi empat. Demikian seterusnya. Bentuk gelas tak mampu dirubah oleh keinginan air, tapi air yang mengikut bentuk gelas. Begitu berkorelasi antara gelas dengan air dan hati dengan amal (perilaku) manusia. Meski amal acapkali bisa dimodifikasi untuk menutupi niat yang sesungguhnya, namun pada waktunya amal (perilaku) akan menampilkan niat yang sebenarnya. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mengingatkan umat melalui sabdanya : "Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan" (HR. Bukhari).
Niat terletak pada hati yang menggerakkan perilaku manusia melakukan berbagai aktivitas. Bila dianalogikan dengan gelas, maka tatkala hati baik akan membentuk perilaku baik. Demikian pula sebaliknya. Perilaku tidak membentuk niat (hati), tapi niat yang membentuk dan mewarnai perilaku. Hal ini dinukilkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : "Ingatlah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian urgensi hati atas warna dan bentuk perilaku manusia. Meski hati bersifat abstrak, namun perilaku manusia merupakan wujud konkrit atas kualitas hatinya. Sebab, perilaku digerakkan oleh hati untuk mengaktualisasi-kan sisi abstraksi hati. Seyogyanya, eksistensi hati perlu dijaga agar tetap bersih dan suci sesuai aturan Ilahi. Bila kemuliaan hati senantiasa terjaga, maka wujudnya akan berbuah perilaku kebaikan. Namun, bila hati tak terjaga dan jauh dari kebenaran, maka akan mudah dikotori oleh nafsu yang mengakibatkan perilaku mengarah pada hal-hal yang kotor pula.
Kedua, Gelas bagaikan mulut. Mulut bagai bagian atas gelas. Semua yang keluar sesuai apa yang di isi dalam gelas. Bila yang masuk air kopi, maka akan keluar air kopi. Bila yang masuk air susu, maka akan keluar air susu. Namun, bila yang masuk racun, maka akan keluar racun pula. Rasulullah mengingatkan : "Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan (mulut)" (HR. Bukhari).
Demikian mulut manusia mengisyaratkan kualitas isi hati dan karakter diri yang sebenarnya. Meski lidah piawai menguntai dalil untuk membenarkan diri dan lihai mencari kesalahan sesama (lawan), namun semakin "lidah menari", maka akan semakin terlihat isi yang hati yang akan dikeluarkan. Bagai air yang keluar dari gelas merupakan cermin isi, jenis, dan kualitas air yang ada di dalamnya. Bila kebaikan yang dikeluarkan, maka kesehatan peradaban yang akan disajikan. Namun, bila racun yang akan dikeluarkan, maka kematian peradaban yang akan terjadi. Bila peradaban punah, tak tersisa adab kesopanan yang tinggal. Namun, bila kualitas "air" yang keluar bersih dan menyehatkan, maka akan hadir manusia yang beradab untuk membangun peradaban yang diharapkan.
Ketiga, Gelas simbol kualitas hati. Untuk itu, agar gelas senantiasa bersih, maka gelas harus selalu dicuci. Bila hati ingin suci, senantiasa bersihkan dengan zikrullah. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan membersihkan diri" (QS. al-Baqarah : 222).
Bila gelas tidak dicuci dalam waktu lama, maka noda yang ada dalam gelas akan sulit (bahkan tak bisa) dibersihkan. Meski gelas hanya digunakan untuk diisi air yang bersih, nsmun masih mungkin tersisa kotoran meski sedikit. Apatahlagi bila diisi dengan air yang kotor dan bernajis, maka gelas akan bau dan najis pula. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya”. (HR. Ahmad).
Untuk itu, manusia perlu membersihkan gelas bila telah digunakan. Bersihkan dengan air yang bersih dan gunakan media lain (sabun dan sejenisnya) untuk menghikangkan kuman dan noda yang mengotorinya. Jangan tunggu lama, sebab akan membuat kotoran yang menempel semakin sulit dibersihkan. Demikian hati manusia perlu senantiasa dibersihkan agar tidak menjadi penyakit kronis yang akut dan merusak tatanan peradaban.
Keempat, Gelas simbol konsistensi (istiqomah) diri. Menerima semua jenis air, tapi tak pernah tunduk pada air. Justeru, air yang tunduk pada gelas dengan mengikuti bentuk gelas. Typikal manusia perlu bercermin dengan gelas, terutama ketika berinteraksi dengan sesama. Typikal manusia yang terbuka dan luwes dalam berinteraksi, tanpa terkooptasi pada golongan manusia tertentu semata. Semua manusia dihargai, tapi karakter idealisme dan keimanan diri jangan sampai ternodai, apatahlagi diperjualbelikan untuk meraih kehidupan. Idealisme diri dengan suluh keimanan dan kebenaran justeru akan membentuk komponen interaksi keselamatan, bukan menjual kebenaran untuk kepentingan sesaat. Padahal, semua akan terbuka pada waktunya atas buah yang ditanam. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: "Maka beristiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" [QS. Hud : 112).
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas merupakan perintah untuk istiqomah dalam kebaikan dan konsisten dalam mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sebab, pada ayat sebelumnya, dikisahkan bahwa bani Israil tidak berpegang teguh kepada kitab Taurat dan berselisih tentangnya. Akibatnya, mereka tercerai berai dan tersesat karena melampaui batas yang telah ditetapkan Allah SWT.
Kelima, Gelas simbol kepemimpinan. Gelas menerima semua jenis air (sifat, bentuk, rasa, baik, buruk, tawar, pahit, manis). Semua diterima dan dirangkul sebagai teman. Demikian fungsi gelas yang menerima semua jenis air yang masuk didalamnya. Namun, gelas memiliki konsistensi dan harga diri. Uniknya, meski semua jenis air diterimanya, namun gelas yang membentuk air, bukan air yang membentuk gelas. Gelas membentuk air, tanpa merusak dan "melukai" air. Demikian manusia bila berada pada posisi sebagai seorang pemimpin. Menerima semua golongan, lawan dan kawan, nasehat dan cercaan, atau varian lainnya secara bijak. Semua diterima, tanpa kehilangan kualitas dan fungsi dirinya. Andai gelas hanya memilih jenis air tertentu dan menolak jenis air yang tak diinginkan, maka air akan melimpah dan gelas membatasi (mengkerdilkan) fungsinya. Atau demikian sebaliknya, air memilih bentuk gelas yang disenangi dan menolak bentuk gelas yang tak diinginkan. Kondisi ini akan membuat terbuka peluang "main mata" antara air dan gelas dalam berinteraksi sesuai tujuan si pemilik air atau gelas. Bila hal ini terjadi, maka fungsi peradaban mengalami kegagalan untuk membangun manusia yang beradab.
Sungguh, sosok pemimpin yang hadir untuk semua umat, tanpa menjual diri dan keyakinan atas nama toleransi dan kemanusiaan. Toleransi bukan mengakui semua kebenaran, tapi menghargai perbedaan tanpa menjual kebenaran. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah" (QS. al-Anbiya' : 73).
Pemimpin harus menempatkan diri sebagai milik semua. Eksistensinya bagaikan gelas untuk menerima semua air. Namun, gelas memiliki sifat menerima, namun teguh pada fungsi dan tugasnya. Ia menghargai perbedaan, tanpa merusak tatanan perbedaan. Ia jadikan perbedaan untuk mencari titik persamaan. Ia jadikan persamaan untuk menuju tujuan keumatan. Demikian tipikal yang dicontohkan Rasulullah dalam memimpin. Hal ini diikuti oleh khulafaurrasyidin dan pemimpin-pemimpin Islam selanjutnya. Pola ini mampu menghantarkan kekuasaan Islam membelah sepanjang masyriq dan maghrib. Keluasan wilayah yang tak pernah ada dalam sejarah selain kekuasaan Islam. Uniknya, pola kepemimpinan Islam yang demikian luas, justeru mayoritas rakyatnya bukan beragama Islam. Namun, semua rukun, damai, dan mampu membangun peradaban yang tinggi pada zamannya. Sementara pasca kejayaan pemerintahan Islam, wilayah kekuasaan semakin mengecil, namun tipikal kepemimpinan manusia tidak menempatkan keharmonisan sebagaimana harmonisnya gelas dan air.
Keenam, Gelas simbol sifat manusiawi. Meski gelas demikian terbuka, namun air harus menghargai keterbatasan gelas. Jangan masukan air panas ketika gelas dingin atau memasukkan air dingin ketika gelas panas, maka gelas akan pecah. Jangan memasukan air melampaui kapasitas gelas, maka air akan tumpah. Demikian aspek hati. Bila hati yang terlalu dingin atau panas tanpa sandaran agama dan akal sehat, maka akan mudah pecah atau tersulut emosi oleh kondisi tertentu. Pepatah mengingatkan "jangan memancing di air yang keruh" dan "jangan mengganggu harimau yang tidur". Sebab, manusia memiliki keterbatasan dalam mengendalikan dirinya, terutama bila berkaitan dengan harga diri dan keluarganya. Meski sabar tiada bertepi, namun kesabaran manusia ada batasnya. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. an-Nisa' : 28).
Demikian Allah jadikan manusia makhluk yang memiliki keterbatasan dan kelebihan. Tujuan lita'arafu untuk saling melengkapi. Jangan egois dan ingin menang sendiri. Ingin dihargai, tapi tak mau saling menghargai. Ingin kebebasan berekspresi, namun merampas kemerdekaan orang lain. Sungguh, mencari kebenaran perbuatan terpuji. Namun, merasa paling benar merupakan sikap dan perbuatan tercela. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : "Barang siapa yang berusaha menjaga kehormatannya (muru'ah), maka Allah akan menjaga kehormatannya, dan barang siapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan" (HR. Bukhari).
Meski begitu jelas firman Allah, demikian terang sabda Rasulullah, dan nampak nyata fenomena yang terjadi, namun manusia acapkali menafikannya. Seakan, firman Allah sebatas tulisan untuk didustakan, sabda Rasulullah dipelajari untuk diingkari, dan peristiwa yang terjadi sebatas fenomena untuk dinafikan. Semua dibutakan oleh kepentingan nafsu duniawi yang mendominasi dan melupakan dampak apa yang terjadi. Semua yang diperoleh tak pernah dirasakan cukup, sampai mulutnya tertutup tanah. Namun, ketika itu tak ada lagi gunanya. Semua tertutup dan hanya ada penyesalan tiada arti. Hanya menunggu pertanggungjawab-an dihadapan Allah atas semua perbuatan.
Ketika gelas dan air harmonis, kenikmatan minum akan diperoleh. Ketika jasmani (perilaku) dan hati harmonis, kehidupan akan damai dan sejahtera. Meski semua sepakat dalam teori gelas dan air atau perilaku dan hati, namun sulit ditemukan pada tataran implementasi dalam kehidupan. Bahkan, terindikasi berbeda antara teori dan praktek, kata dan perbuatan, lahir dan batin, atau varian sejenisnya. Sungguh semakin sulit menemukan implementasi gelas dalam kehidupan. Apatahlagi pada semua ayat tertulis dan terbentang lainnya untuk diimplementasikan secara benar. Sungguh malu, ternyata hanya pada gelas saja manusia tak mampu bercermin, apatahlagi pada ayat Allah lainnya. Masih-kah menganggap diri paling mulia dan sempurna. Tentu jawaban tergantung kualitas setiap diri yang sebenarnya. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis