HANYA dalam hitungan hari, umat Islam seluruh dunia akan menyambut bulan suci Ramadhan 1443 H. Bulan kemuliaan yang senantiasa ditunggu dengan sukacita bagi hamba yang mengerti. Atau desahan napas panjang pertanda begitu berat menyambut hadirnya ramadhan karena dirasa baru "kemarin" hadir. Padahal, Allah secara khusus memanggil hamba-Nya untuk berpuasa dengan panggilan kemuliaan.
Hal ini terlihat pada firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-Baqarah: 183).
Perintah puasa dalam ayat di atas bertujuan untuk mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, dan terbangunnya kesehatan secara utuh (biologis-psikis). Selain itu, puasa dilakukan agar manusia senantiasa bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Demikian agungnya puasa yang telah diwajibkan atas umat para nabi terdahulu. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya mengatakan, "puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan". Jalan-jalan setan dimaksud semua hal yang membatalkan dan merusak puasa. Tentu yang mempersempit jalan setan hanya mampu dilakukan oleh hamba yang berpuasa dengan suluh iman.
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan "perindu Ramadan" di bulan Syakban, antara lain: Pertama, jadikan bulan Syakban untuk latihan memasuki Ramadan. Bagai seorang atlit. Bila ingin memenangkan pertandingan, ia harus melakukan serangkaian latihan. Melalui latihan yang benar, ia akan mampu meraih kemenangan. Demikian halnya bulan Syakban merupakan bulan latihan menjelang pengujian keimanan selama bulan Ramadan.
Kedua, bersihkan diri melalui taubat an-nasuha untuk memperoleh kesucian. Sebab, Ramadan merupakan bulan suci, tentu hanya dapat dirasakan oleh hamba yang suci. Hanya ketika diri telah suci, maka akan mampu "bertemu" dengan hakikat bulan yang suci (Ramadan), bahkan keagungan Yang Maha Suci. Kesucian bukan sebatas zahir (berbagai varian tradisi budaya menjelang Ramadan).
Meski budaya menjelang Ramadan perlu dilestarikan, namun pelaksanaannya jangan sampai bagai "kerbau bermain di kubangan". Inginkan diri bersih, namun praktiknya melanggar ajaran agama sedemikian nyata seakan komunitas tanpa budaya. Pada dimensi lain, kesucian batin dilakukan melalui pengakuan atas kesalahan dan khilaf diri pada Ilahi untuk memohon pengampunan-Nya dengan keinsyafan paripurna.
Ketiga, munajat rindu yang membangun rasa gembira tiada tara bertemu kembali dengan bulan yang suci. Sungguh kebahagian dan syukur bisa kembali bertemu dengan bulan Ramadan melalui kesehatan yang bisa bersua kembali dengan bulan pengampunan. Kerinduan yang berhulu dengan iman, mengalir amaliah terbaik seakan Ramadan tahun ini merupakan pertemuan terakhir, dan bermuara pada citra hamba yang ihsan yang mampu meraih predikat takwa yang sebenarnya.
Keempat, bahagia menyambut Ramadan dan menjawab sapaan Allah ("hai orang-orang beriman...") dengan menampilkan keimanan dan penghambaan diri yang utuh. Bahagialah hamba yang termasuk golongan yang disapa Allah. Namun, sungguh rugi dan hina bila sapaan Allah tersebut tak menghampiri diri.
Kelima, mengisi Ramadan dengan menikmati sajian keampunan Ilahi. Aktivitas amaliah selama Ramadan bukan sebatas bertransaksi ekonomi pada Allah dengan mengharap pahala berlipat ganda dengan amalan tak sebanding dengan kasih sayang Allah yang diperoleh selama ini. Bila hal ini dilakukan, berarti kadar "berhitung" dengan Allah lebih dominan. Padahal Allah tak pernah berhitung dengan hamba untuk menurunkan nikmat-Nya. Tingkatkan kualitas iman dengan mengisi ramadhan untuk memperoleh ampunan dan cinta-Nya tanpa menghitung amal yang dilakukan. Sebab, Allah tak pernah memerlukan amaliah hamba, tetapi hamba yang memerlukan amaliah untuk meraih cinta-Nya.
Keenam, membekaskan Ramadan pasca-Ramadan secara istiqomah. Bekas Ramadan tentu terlihat setelah bulan Ramadan berlalu. Bekas Ramadan terlihat kembalinya hamba pada fitrah ajaran agama yang dipertahankannya pasca-Ramadan. Namun, merugilah diri bila aktivitas ibadah hanya terlihat bagai tsunami selama Ramadan, namun kering pasca-Ramadan. Apatahlagi bila selama Ramadan aktivitas ibadah tergolong rendah (bahkan tidak ada), bagaimana mungkin berharap terlihat bekasnya pasca-Ramadan.
Bila dilihat dari aspek melaksanakan ibadah puasa, akan terlihat beberapa tipikal puasa, antara lain: Pertama, puasa syariat. Aktivitas puasa sebatas menahan lapar dan dahaga sejak waktu imsak sampai berbuka puasa. Rukun dan syarat puasa dipenuhi, namun sebatas aktivitas zahir semata.
Aktivitas mengisi Ramadan dilakukan, namun belum mampu menghunjam dalam kalbu dan mewarnai karakter diri secara permanen dengan ketauladanan ihsan Rasulullah. Namun, acapkali ibadah puasa hanya dipahami sebagai waktu mengumpulkan pahala yang berlipat ganda, meski sesudah Ramadhan berlalu, aktivitas kejahatan tetap dilakukan. Hal ini diakibatkan inti puasa belum mampu diraih untuk mewarnai karakter diri.
Kedua, puasa muslihat. Menjalankan puasa untuk tujuan sebatas asesoris "memperlihatkan keshalehan" guna menutupi tumpukan kesalahan. Demikian banyak dan tekunnya beribadah selama Ramadan, namun semua hanya bertujuan memanipulasi sesama. Puasa dan ibadah zahir lainnya (shalat, haji, zakat, sedekah, dan lainnya) dijadikan untuk mempublikasikan diri, mengambil keuntungan sesaat, namun tak mampu menyadarkan diri yang fana.
Akibat dari hal itu, aktivitas ibadah (termasuk puasa) dijadikan transaksi kesalehan untuk menutup rapat kesalahan yang menggunung nan terbungkus rapi. Hal ini disebabkan "mati dan bekunya hati" akibat kezaliman, keserakahan, atau kemaksiatan yang telah dilakukan dan dipertahankan (dipertontonkan) selama ini.
Ketiga, puasa hakikat. Aktivitas puasa bukan sebatas zahir, tapi mengasah batin merasakan nikmatnya inti puasa. Puasa bukan sebatas menahan hal-hal yang membatalkannya, tapi melalui puasa dirasakan hadir bersama puasanya Rasulullah. Puasa yang demikian diharapkan mampu meraih percikan akhlak yang ditanamkan Rasulullah. Karakter yang penuh adab, ibadah yang tak pernah mengharapkan apapun, kecuali cinta Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan ibadah bukan karena perintah dan mengharap pahala, tapi kebutuhan hamba pada Khaliq untuk menikmati komunikasi diri dengan Allah dan Rasul-Nya.
D ipenghujung Syakban ini, mari setiap diri bercermin dengan apa yang telah dilakukan selama ini. Sudahkah menjadikan Syakban bulan persiapan mengisi Ramadan lebih baik, atau masihkah diri terbelenggu oleh kebekuan hati yang tak bertepi. Tipikal manakah setiap diri ketika menyambut dan mengisi Ramadan.
Bila cermin diri telah mengarah pada kebaikan, maka mohon pada Allah agar dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Namun bila cermin diri ternyata sebatas "ember bocor" nan indah di luar tapi tak menyisakan setetes air sedikit jua, mohon pengampunan atas kealpaan diri pada Ilahi. Tentu hanya setiap diri yang tau dan mampu menjawab.
Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
*) Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis.