SEMUA manusia sangat familiar dengan peralatan yang namanya gembok dan kunci. Sebagai alat yang sangat diperlukan, gembok dan kunci digunakan untuk menjaga sesuatu yang dinilai berharga agar aman dan terhindar dari berbagai kejahatan. Bagi pemilik rumah, tentu membuka gembok dengan menggunakan kunci agar tak terjadi kerusakan pada gembok atau media yang digembok. Sementara bagi pelaku kejahatan, meski telah terkunci dengan gembok yang kuat, upaya membuka gembok dilakukan dengan cara paksa atau merusak tatanan gembok.
Semua yang digembok dipastikan merupakan sesuatu yang sangat berharga. Semakin berharga dan tinggi nilai yang akan diselamatkan, maka semakin berkualitas jenis gembok dan kunci yang digunakan. Demikian pula sebaliknya, semakin tak memiliki nilai sesuatu benda semakin rendah kualitas gembok yang digunakan, bahkan tak perlu untuk digembok sama sekali. Demikian perumpamaan diri setiap manusia.
Bila setiap diri memiliki harga diri yang bernilai tinggi, maka akan digunakan "gembok" iman yang berkualitas agar tak bisa dibuka oleh anasir yang merusak dan bisa menghancurkannya. Namun, bila setiap diri tak lagi tersisa harga diri yang dimiliki, maka akan dipilih "gembok" murahan yang mudah dibuka atau gembok rusak yang digunakan sebatas asesories agar nampak terkunci. Bila demikian, maka "pencuri" akan mudah masuk atau mungkin tak ingin masuk karena pencuri tahu bahwa di dalamnya tak ada sesuatu yang berharga untuk diambil. Mungkin hanya seonggok sampah kotor yang dikelilingi lalat dan belatung.
Terlepas dari fungsinya, ada beberapa makna gembok dan kunci pada kehidupan manusia, antara lain: Pertama, gembok merupakan perumpamaan hadirnya berbagai persoalan dalam kehidupan. Penyebab persoalan terkadang tak terlihat jalan penyelesaiannya, seakan tertutup rapat. Padahal, Allah menyiapkan "kunci" sebagai upaya penyelesaian atas persoalan yang terjadi. Hal ini dinukilkan Allah melalui beberapa firman-Nya, antara lain : "Kami berfirman, Turunlah kamu semua dari surga. Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang-siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. al-Baqarah : 38).
Meski kunci merupakan benda berukuran kecil, tapi sangat menentukan penyelesaian dan masa depan manusia. Kunci bagi seorang muslim adalah kekokohan iman yang senantiasa bermunajat penuh rindu pada Sang Pencipta. Bagi manusia yang tidak berpikir bijak, acap kali persoalan diselesaikan dengan cara yang kasar dan tak beradab. Persoalan diselesaikan dengan kehilangan kesantunan bagai membuka "gembok" dengan mencongkel, memotong, bahkan menghancurkannya. Perilaku penyelesaian persoalan dilakukan ala pencuri (perampok) dengan menghancurkan gembok atau sekitar gembok. Atau ada pula mengambil jalan singkat dengan membiarkan gembok tetap terkunci, lalu berupaya mencari "kambing hitam" yang ditimpakan kesalahan karena gembok tak terbuka (terkunci). Fenomena ini banyak ditemui di tengah kehidupan manusia yang konon berperadaban.
Ada pula menyelesaikan persoalan yang terjadi dengan "melanggar hukum", meminta bantuan "orang kuat" untuk menyelesaikannya, atau menciptakan skenario untuk menimpakan kesalahan pada orang lain. Akibatnya, persoalan tak pernah terselesaikan dan menumpuk menjadi kesalahan-kesalahan "turunan" yang berkelanjutan. Persoalan seakan selesai, namun sebenarnya tak pernah terselesaikan. Sungguh, manusia yang mencari-cari persoalan (akibat tak mampu membuka gembok) untuk ditimpakan pada orang lain merupakan perbuatan nista dan tercela. Apalagi persoalan yang direkayasa dengan menciptakan dan menjual "kunci rekayasa" yang bertujuan meraih pundi-pundi atau tujuan tertentu. Padahal, Allah mencela perbuatan ini sebagaimana firman-Nya : "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" (QS. al-Hujurat : 11).
Sementara bagi manusia yang berpikir bijak, persoalan diselesaikan dengan cara beradab. Mereka mencari akar persoalan dan menemukan "kunci" yang tepat untuk menyelesaikannya dengan kebijaksanaan tanpa merusak gembok (tatanan hukum dan kebenaran). Bak tali kusut, bagi pemilik kebijaksanaan, kusut tali akan diurai dengan mencari sumpul agar tali tak putus dan kusut bisa terurai. Seyogya-nya manusia berperadaban hadir sebagai sosok kunci menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah atau jadi juru kunci hadirnya rekayasa penuh tipu muslihat.
Kedua, gembok acap kali berhadapan dengan bahaya yang mengancam. Sebab, gembok biasanya terletak di luar. Ancaman bisa terjadi disebabkan air hujan dan panas matahari yang membuatnya berkarat, dinginnya embun malam, atau dirusak oleh mereka yang berniat jahat. Tapi, kunci kecil selalu tersembunyi, disimpan ditempat aman, dan selalu dijaga. Demikian sifat manusia. Sosok yang menjaga amanah acapkali menjadi bumper dan diposisikan di luar. Sementara sosok intelektual sebagai kunci agar sosok penjaga (gembok) dapat melaksanakan tugasnya sesuai yang diamanahkan acapkali tak terlihat. Eksistensinya tak ingin menampilkan diri. Kunci khawatir "keikhlasannya" akan terganggu bahkan dicuri oleh mereka yang tidak amanah.
Demikian pemilik karakter amanah seharusnya kuat bagai gembok menjaga marwah diri dan menyimpan kunci amanah dengan keikhlasan sebagai harga diri. Namun, bila kunci telah tergadai oleh tumpukan materi, ia akan rela menjual diri untuk diduplikat. Tatkala gembok terbuka oleh "kunci duplikat", maka ia akan mencari alibi untuk lepas dari tanggungjawab. Demikian urgen bila kunci memiliki harga diri untuk menjaga agar gembok tak terbuka oleh "pencuri" yang selalu mengincar isi apa yang digembok.
Sungguh strategis dan pentingnya fungsi kunci. Wajar bila banyak pepatah atau peribahasa menggunakan kata "kunci" sebagai alat utama untuk tercapai atau tidaknya apa yang dituju. Tanpa memiliki kunci yang tepat, tak ada "gembok" yang dapat dibuka. Tanpa cara yang benar, maka tak mungkin terbuka dan diperoleh kebenaran yang diharapkan.
Ketiga, pilih dan gunakan kunci yang tepat untuk membuka gembok. Bila salah memilih kunci, maka gembok bukan hanya tak terbuka, tapi akan mengalami kerusakan. Demikian kehidupan manusia. Tatkala gembok perlambang masalah, maka carilah orang yang tepat dan bijak untuk menemukan solusi, bukan orang jahil yang hanya pandai cari muka dan pandai bersilat lidah sebagai rujukannya. Bila gembok perlambang penjaga sesuatu yang berharga, maka ingatkan kunci (perorangan atau tim) agar amanah dan tidak membuka gembok oleh silau tumpukan berlian. Sebab, sesuatu yang tersimpan selalu terbuka dan diketahui luas oleh orang sekitar (kunci dan gembok) yang khianat. Bila gembok perlambang suatu urusan, maka carilah kunci (orang) yang ahli untuk mengurusinya. Bila bukan kuncinya yang tepat untuk membuka, maka akan rusak gembok yang ada. Rasulullah mengingatkan: "Apabila sebuah urusan (pekerjaan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat (kehancuran)" (HR. Bukhari).
Keempat, gembok dan kunci bagai tubuh dan ruh (jasmani dan rohani). Keduanya bisa melaksanakan tugasnya tatkala berfungsi secara harmonis, tidak rusak, dan tidak berkarat. Namun, bila keduanya atau salah satunya rusak atau berkarat, maka gembok dan kunci tak bisa melaksanakan fungsinya. Demikian antara jasmani dan rohani manusia. Keduanya akan menghantarkan manusia mampu menjalankan fungsi kekhalifahaan dan penghambaan tatkala keduanya selalu sehat dan tak mengalami kerusakan. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan manusia melalui sabdanya: Dari Anas bin Malik RA, Rasûlullah SAW pernah bersabda, " Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci kebaikan dan gembok-gembok penutup keburukan. Di antara manusia ada gembok-gembok penutup kebaikan dan kunci-kunci pembuka keburukan. Beruntunglah orang- orang yang Allah letakkan kunci-kunci pembuka kebaikan di tangannya dan celakalah orang-orang yang Allah letakkan kunci-kunci pembuka keburukan di tangannya” (HR. Ibn Majah).
Merujuk hadist di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa kunci semua kebaikan adalah harapan bertemu dengan Allah dan mendapat surga-Nya. Sementara kunci keburukan ketika manusia terlalu cinta dunia dan berangan-angan untuk menguasainya dengan cara yang batil. Oleh karenanya, manusia perlu mengetahui kunci meraih kebaikan dan kunci agar terhindar dari keburukan. Untuk itu, manusia diperintahkan untuk senantiasa berada dilingkungan pemilik kunci-kunci kebaikan untuk terbuka pintu kasih sayang Allah. Namun, bila yang dipilih hidup disekeliling komunitas diri pemilik dan pembuat kunci keburukan, maka bagai virus ganas yang akan merusak diri dan tertutup dari jalan-Nya.
Kesemuanya hanya akan diperoleh mereka yang senantiasa mendapatkan hidayah-Nya. Sedangkan untuk mendapatkan hidayah-Nya, manusia perlu memiliki rohani (kunci) yang menggerakkan jasmani (gembok) agar senantiasa mengingat Allah. Hal ini disampaikan Rasulullah melalui sabdanya: "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama kalbu” (HR Bukhari dan Muslim).
Demikian manusia acap kali terlihat berpenampilan bagai gembok nan anggun, terlihat kokoh dan kuat, atau harga yang mahal, namun belum menjamin mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya tatkala "kunci" kalbunya berkarat dan tak mengarahkan pada karakter mulia. Hati-hati tepuk tangan dan kata pujian yang terlalu menyanjung. Sebab, banyak nyamuk mati oleh tepuk tangan dan musang jatuh karena angin sepoi-sepoi. Sanjungan lahiriah hadir selama "gembok dan kunci" dinilai bisa menyelamatkannya. Bila gembok dan kunci sudah berkarat atau dianggap tak layak pakai, semua akan berpaling mencari gembok dan kunci lain yang baru. Sikap seperti ini hanya terjadi tatkala tak ada sisi diri yang berharga dan patut untuk "digembok atau dikunci". Sebab, mungkin lebih tak berharga melampaui makhluk yang hina (QS. al-A'raf : 179).
Idealnya, tampilan lahiriah "gembok" wujud nyata atas kualitas "kunci". Namun, acap kali gembok dan kunci mengalami gagal fungsi. Apatahlagi tatkala salah satu atau kedua-duanya telah berkarat dan telah lama tak saling bekerja sama pada satu tujuan mulia. Demikian terjadi pada manusia. Wujud lahiriah demikian anggun, tapi hakikat batin berkarat dan terkunci oleh nafsu. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: "Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat" (QS. al-Baqarah : 7).
Menurut tafsir Jalalain, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengunci dan menutup rapat hati, pendengaran, penglihatan manusia yang berkarat, sehingga tidak dapat terbuka untuk menerima kebaikan dan kebenaran. Padahal, apa yang dihadirkan merupakan ayat-ayat Allah, namun enggan diterima. Semua dianggap tak memberi manfaat dan dirasakan pahit. Semua sirna dengan kilauan murahan yang menyilaukan mata untuk menerima kebenaran. Demikian nyata Allah menampilkan ayat-ayat-Nya, namun semua diingkari akibat organ alat menangkap kebenaran telah berkarat dan rusak. Mungkin ini yang diingatkan Allah dalam firman-Nya: "Adapun orang-orang yang kafir dan mendusta-kan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" (QS. al-Baqarah : 39).
Demikian gembok dan kunci memberi pelajaran yang berarti bagi manusia. Sungguh, "maka nikmat (ayat-ayat *pen) Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?" (QS. ar-Rahman) semakin menjelaskan kebenaran-Nya. Masihkah manusia menyatakan diri paling hebat dan sempurna? Tak ada yang bisa menjawab, kecuali Allah dan diri yang mampu tampil bagai kunci dan gembok yang berinteraksi secara harmonis. Semoga Allah senantisa meneguhkan gembok dan kunci yang mampu menjaga iman, harga diri, dan menyisakan waktu menyaksikan kebenaran ayat-ayat-Nya sebagai media hamba menuju rindu Ilahi, aamiin. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis