OLEH  SAMSUL NIZAR

Virus dan Setan

Betuah | Senin, 25 April 2022 - 04:00 WIB

Virus dan Setan
Samsil Nizar (ISTIMEWA)

Secara medis, virus adalah agen infeksi berukuran kecil yang bereproduksi dalam sel inang yang hidup. Ketika terinfeksi, sel inang dipaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik virus asli dengan cepat. Virus sendiri tidak memiliki sel.

Pembentukan virus-virus baru berlangsung dalam sel inang yang terinfeksi. Virus bersifat parasit dan tidak bisa hidup tanpa inang. Infeksi virus terjadi ketika virus masuk ke dalam tubuh seseorang. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus kemudian menyerang sel tubuh yang sehat, serta berkembang biak dengan cepat dan membunuh sel tubuh tersebut. Virus akan masuk dan merusak tatanan tubuh ketika daya imunitas tubuh rendah. Ketika daya kekebalan tubuh lemah, maka virus akan mudah berkembang dan merusak tubuh manusia. Demikian virus merusak tatanan tubuh ketika daya imunnya lemah atau bahkan lumpuh.

Baca Juga : Sabda Alam

Virus sebenarnya dapat dianalogikan seperti setan. Setan akan masuk dan mempengaruhi manusia ketika daya imunitas iman rendah, apatahlagi hilang keimanan yang dikalahkan kepentingan dan kerakusan cadas duniawi.

Dalam Islam, setan merupakan sifat yang menggambarkan keadaan makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka maksiat, suka melawan aturan, dan durhaka. Sifat ini dimiliki oleh kalangan iblis (berikut anasirnya) dan kalangan manusia yang kufur. Ia akan selalu menggiring manusia (sesama manusia) untuk melanggar aturan Allah dan menemani setan dan kroninya di neraka.

Di era wabah Covid-19 melanda dunia, eksistensi virus ini telah menghancurkan sendi-sendi peradaban dunia. Ekonomi dunia lumpuh. Seluruh manusia diserang ketakutan dan kecemasan. Meski hal tersebut wajar, namun tanpa disadari ikut melemahkan daya imun tubuh. Serangan psikologis yang alamiah, namun bila tidak diantisipasi akan berakibat munculnya sifat paranoid yang merugikan kekuatan anti bodi jasmani.

Sayangnya, kekhawatiran serangan virus tersebut tak sebanding kekhawatiran serangan "setan" yang menyerang imunitas iman manusia. Padahal, iman bagai software yang sangat vital bagi menunjang kualitas kerja hardware.  Wajar bila serangan virus Covid-19 digunakan setan memanfaatkan kondisi untuk mendorong manusia yang imunitas imannya lemah memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan dan tipu muslihat atas wabah Covid-19.

Sungguh, musibah atau peristiwa buruk pasti pernah dirasakan setiap manusia. Untuk itu, Islam mengajarkan untuk saling bertenggang rasa atau membantu meringankan beban sesama. Namun, ada pula segelintirnya yang justru senang dengan penderitaan sesama dan memanfaatkannya untuk meraih manfaat atas kondisi tersebut, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Hal ini merupakan perilaku zalim yang dilarang dalam Islam. Karena buruknya sifat ini, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya:

"Janganlah engkau menampakkan kegembiraan (memanfaatkannya *pen) karena musibah yang menimpa saudaramu. Karena jika demikian, Allah akan merahmatinya dan malah memberimu musibah" (HR Tirmidzi).

Demikian nistanya manusia yang memanfaatkan musibah untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Bila hal ini terjadi, bagai pepatah "menari di atas bangkai saudara". Bahkan, sejenis hewan tak pernah melakukan hal yang demikian. Kesemua itu diakibatkan hilangnya daya imun iman dan sisi kemanusiaan. Kondisi ini dimanfaatkan setan untuk "menutup" semua sisi kemanusiaan diri. Panca indera hanya membayangkan keuntungan yang bisa diraih atas kondisi musibah yang menimpa sesama.

Serangan setan tak pernah berhenti. Cara yang digunakan setan antara lain: pertama, menjadikan sesuatu yang mungkar nampak baik dan menamai perbuatan maksiat dengan nama-nama yang disenangi. Dalih pluralitas dikumandangkan. Alasan semangat HAM dipakaikan. Berbagai alasan hukum dirancang untuk melegalkan apa yang diinginkan.

Kedua,  setan mempengaruhi manusia untuk menamai amal baik dengan nama yang tidak disukai, membangun pobia dan berpikir negatif, menakut-nakuti dengan alasan melanggar aturan, angan-angan kemiskinan atau penderitaan (bahkan hilang jabatan), beramal tapi selalu pamrih, dan menyesatkan manusia semakin  jauh dari kebenaran agama secara bertahap. Akibatnya, manusia menjadi malu berbuat baik dan bangga melakukan nista.

Ketiga, setan membangunkan ego manusia agar memanfaatkan kedudukan, atribut-atribut, jabatan, ilmu, materi, dan kesempatan guna mengambil sebanyak mungkin keuntungan bagi diri dan "kaumnya" untuk membangun "benteng" kemungkaran. Bisikan "aji mumpung" dihembus dalam akal dan hati untuk menghalalkan semua cara bagi tercapai tujuan yang diinginkan.

Ketika setan berhasil menguasai manusia, maka kebenaran akan dianggap aneh dan kesalahan dianggap wajar. Akibatnya, kebenaran menjadi prilaku aneh, dimusuhi, dan semakin ditinggalkan. Sementara prilaku yang memandang kesalahan sebagai kewajaran oleh tuntutan zaman akan semakin diminati, dinilai wajar, dan banyak pengikutnya.

Sungguh, manusia begitu khawatir imunitas jasmaninya lemah dan tak kuasa menahan serangan virus. Meski bila imunitas jasmani lemah, masih banyak obat ditawarkan dan bisa dikonsumsi untuk menambah kekebalan tubuh. Ketika ikhtiar berujung pada kematian, sisi kemanusiaan dianggap telah mulia. Namun, ketika manusia alpa pada imunitas iman (rohani) yang lemah, maka manusia akan kehilangan sisi kemanusiaan dan lepas pula imannya pada Sang Khaliq. Dampaknya demikian masif, bukan hanya menimpa sesama, bahkan seluruh alam semesta dan terasa sampai generasi sesudahnya.

Ternyata, virus dan setan memiliki kemiripan. Keduanya akan masuk pada tubuh manusia ketika daya imun mengalami kelemahan. Hanya saja, serangan virus lebih diperhatikan secara kolektif dan mengeluarkan biaya sangat mahal. Sedangkan serangan setan kurang mendapat perhatian serius. Bila masih ada segelintir yang memperhatikan, namun dengan biaya murah, bahkan gratis.

Sungguh Ramadan bulan "setan dibelenggu". Namun, sebenarnya yang membelenggu setan adalah "iman para shaimin dan shaimat" yang berpuasa karena iman. Tali iman hamba yang mampu mengikat setan dan anasirnya. Bila tali iman tak mampu membelenggu selama Ramadan, maka bagaimana 11 bulan ke depan. Mungkin manusia yang dibelenggu oleh setan untuk ikut kendalinya bak "lembu ditusuk hidungnya".

Ketika hal ini yang terjadi, maka hilang sisi kemanusiaan, hancur akal budi, runtuh peradaban, berkibar gagah tipu muslihat, mentereng antribut atau topeng asesories yang menyilaukan mata kebenaran, dan lain sebagainya. Bila jalan kesesatan yang ditunjuk setan tak diantisipasi melalui penguatan daya imun iman, maka manusia akan tergincir oleh virus yang disebarkan oleh setan. Bila dominasi setan mampu merusak sisi kemanusiaan dan matinya akal budi, maka peradaban dan kebenaran akan hancur dan punah, bagai punahnya dinosaurus.

Setan akan menciptakan jalan yang bercabang. Ke kiri jalan kesesatan yang berhasil disulap oleh setan dengan pemandangan indah dan ke kanan jalan kebaikan yang disulap oleh setan agar terlihat penuh duri nan menyeramkan. Bagi pemilik iman, Ramadan dijadikan untuk memperkuat imun imannya guna membentengi diri dari pengaruh setan guna meningkat pada Islam yang kaffah. Bekas Ramadan yang berangkat dari iman menuju Islam, maka akan terlihat pada ihsan diri pasca Ramadan. Bila ini yang dilakukan, maka beruntung dan selamatlah diri. Namun, bagi pemilik kerentanan iman, maka Ramadan hanya sebatas hadir sebagai bulan "penebus dosa" dan "menabung pahala" sebanyak-banyaknya.

Kehadiran Ramadan bagai hujan nan lebat, namun tak memberi bekas setelah hujan reda. Bahkan, lebatnya hujan membawa angin yang merontokkan sampah dedaunan yang mengotori alam semesta. Bila hal ini terjadi setiap hadirnya ramadhan, maka merugilah diri. Bagai puasa ular yang bertujuan mengganti kulit. Setelah kulit terkelupas dan berganti kulit yang baru, eksistensi ular tetap sebagai ular. Beruntunglah hamba yang berpuasa bagai puasanya ulat. Ulat berpuasa untuk berubah menjadi kepompong yang bertukar menjadi kupu-kupu nan indah mewarnai dunia.

Lalu, bagaimana imun tubuh dan iman yang kita miliki pada Ramadan 1443 H  kali ini? Tentu hanya setiap diri dan Allah yang tahu kualitas imun yang dimiliki. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook