OLEH: SAMSUL NIZAR

Benih Kacang dan Kejujuran

Betuah | Senin, 21 November 2022 - 05:00 WIB

Benih Kacang dan Kejujuran
Samsul Nizar (ISTIMEWA)

ALKISAH, diceritakan ada seorang pengusaha yang sangat kaya raya. Namun sayang, ia tak memiliki keturunan untuk  melanjutkan usahanya. Walhasil, dikumpulkannya semua pejabat (di bawahnya) yang selama ini bekerja di perusahaannya. Dalam pertemuan tersebut, si pengusaha menjelaskan maksud pertemuan. Ia ingin istirahat dan menghabiskan masa senjanya untuk mempersiapkan diri menjelang menghadap Sang Khaliq.

Namun, sebelum hal tersebut dilakukan, ia ingin mencari sosok yang akan menggantikan posisinya sebagai pimpinan di perusahaannya tersebut. Semua terkejut, namun menyisakan aura bahagia penuh harap agar posisi tersebut dapat dimiliki. Sang pengusaha membagi benih kacang pada masing-masing anak buahnya tersebut. Pengusaha berucap, "Tanamlah benih kacang ini dengan penuh kasih sayang. Apa yang Anda lakukan merupakan cermin ketika memimpin perusahaan ini. Siapa yang berhasil merawat benih kacang ini, maka dia yang akan dipilih."

Baca Juga : Sabda Alam

Semua yang memperoleh benih kacang bergegas pulang dan menanamnya. Tiba waktu yang ditentukan, semua sudah siap membawa hasil apa yang telah ditanam. Namun, ada seorang yang memperoleh benih bermuka sedih. Sebab, benih yang ditanam tak kunjung tumbuh. Padahal, ia telah merawatnya dengan baik. Awalnya, terbersit dalam pikirannya untuk mengganti pot semaiannya dengan tanaman kacang yang tumbuh subur. Namun, atas motivasi

dan didukung istrinya yang salehah, ia berhasil mempertahankan sifat kejujuran yang dimilikinya. Dengan mantap, ia bawa pot tempat benih disemai, namun tanpa ada pohon yang tumbuh. Sementara teman-temannya yang lain dengan bangga membawa tanamannya yang sehat tumbuh subur.  Hal ini tentu menjadi bahan tawaan dan cemoohan padanya karena hanya membawa pot yang berisi tanah.

Sang direktur pemilik perusahaan melihat hasil kerja semua calon yang telah diberikan bibit tanaman. Matanya tertuju pada seorang karyawannya yang hanya membawa pot kosong tanpa ada tumbuhan yang dibawa. Lalu, ia minta agar karyawan yang membawa tanaman yang paling subur tampil ke depan, menceritakan bagaimana tumbuhan tersebut demikian subur. Dengan bangga dan percaya diri, ia menceritakan apa yang dilakukan. Giliran karyawan yang tanamannya tak tumbuh maju ke depan untuk menceritakan bagaimana ia menanam bibit kacang, sehingga bibit yang diberikan tidak tumbuh sama sekali. Di pengujung paparannya, sang pemilik perusahaan dengan lantang berkata, "Mari kita sambut dan beri tepukan meriah kepada direktur baru yang akan menggantikan saya."

Semua mata tertuju pada karyawan yang membawa pot kosong tersebut. Mereka tak percaya atas apa yang dikatakan si pemilik perusahaan. Memilih karyawan yang tak berhasil menanam bibit yang diberi, justru yang terpilih. Melihat situasi demikian, sang pemilik perusahaan berkata, "Aku tahu kalian semua memiliki kemampuan intelektual dan kinerja yang sangat baik. Namun, hanya seorang yang tak mampu menanam bibit, sebenarnya memiliki kelebihan yang tak kalian miliki. Kelebihan tersebut adalah kejujuran. Sementara kalian semua tak memiliki sifat kejujuran. Sebab, semua bibit yang aku berikan sebelumnya telah aku rebus dalam air mendidih. Jadi tak mungkin bibit tersebut  bisa tumbuh setelah direbus. Sementara tanaman yang kalian bawa telah diganti bibit lain, bukan bibit yang kuberi sebelumnya. Tujuannya agar pimpinan senang dengan tanaman yang dibawa. Padahal sebaliknya. Hanya satu orang yang jujur, yaitu yang membawa pot kosong tanpa tanaman". Semua terdiam dan tertunduk malu.

Sungguh kisah penuh makna dan tamparan bagi fenomena "lazim" saat ini.  Sebuah tamparan peradaban manusia yang konon mengaku modern, namun berprilaku bak tak memiliki peradaban (suka menipu dan menjual harga diri). Dalam kisah tersebut, terdapat beberapa pelajaran bagi manusia sepanjang sejarah, antara lain :  Pertama, tipikal pemimpin (pemilik perusahaan) yang bijaksana. Memikirkan sosok penerus usahanya agar tidak hancur apa yang telah dibangun. Ia cari dan siapkan estafet penerus berkualitas, jujur, dan mampu memikul amanah, bukan penerus yang hanya membawa "pundi-pundi dalam tas", serakah, dan kelak justru akan menjual aset yang ada. Ia siapkan penerus yang membangun kebajikan dan memikirkan manfaat keumatan, bukan mencari penerus yang bisa bekerja sama menutupi kecurangan dan keculasan yang dilakukan sebelumnya. Atau ada pula tipikal pemimpin yang tak mempersiapkan, bahkan ingin tanpa penerus agar kuasa dapat dipertahankan selamanya. Sungguh, tatkala pemimpin masa depan yang berkualitas tak dipersiapkan, maka akan lahir pemimpin masa depan yang hanya mampu berlaku culas dan menghancurkan bangunan peradaban yang ada.

Kedua, sungguh kejujuran tumbuh pada segelintir manusia, dibanding ketidakjujuran yang hadir lebih dominan dan nyata. Meski semua membenci kemunafikan, namun hampir semua pula menyenangi tipe kemunafikan dan tak pernah peduli atas dampak yang terjadi. Hanya saja, sanggupkah pemilik kejujuran melewati dominasi kokohnya barisan pemilik ketidakjujuran dengan pandangan aneh atas pemilik kejujuran? Padahal, Rasulullah telah  bersabda: "Sesungguhnya jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga, sesungguhnya orang yang berkata benar maka orang tersebut dicatat sebagai orang yang paling jujur. Sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu mengantarkan ke neraka dan orang yang dusta maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang paling dusta” (HR. Imam Bukhari).

Ketiga, pemilik sifat kejujuran sering dicemooh oleh komunitas pemilik ketidakjujuran. Atau, pemilik kejujuran akan dibuli dan dibenci karena tak mengikuti kelicikan yang terjadi. Sungguh, jujur dan tidak jujur dalam perspektif kepentingan hanya ditentukan oleh penilaian mayoritas atas minoritas. Logika sederhana, seorang dikatakan gila oleh mayoritas atas minoritas. Bila penilaian dilakukan oleh komunitas gila (mayoritas) atas personal normal (minoritas), maka personal normal yang akan dikatakan gila. Demikian pula penilaian atas kejujuran dan ketidakjujuran. Bila komunitas pemilik kejujuran berada pada minoritas di tengah samudera ketidakjujuran, maka keberadaan komunitas pemilik kejujuran akan dimusuhi, disingkirkan, dan "dibumihanguskan". Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “Sungguh telah kami uji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui orang yang jujur dan mengetahui orang yang dusta” (QS. Al Ankabut: 3).

Meski demikian jelas firman Allah mengingatkan, anehnya manusia justru "memelihara kaum pendusta" dan menghancurkan pemilik kejujuran. Keanehan sikap yang melampaui lintas batas strata sosial, pendidikan, atau atribut kesalehan zahir yang mentereng.

Keempat, upaya membuat pimpinan senang acap kali diiringi tipu muslihat dan kemunafikan. Semua dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat memperoleh atau mempertahankan kedudukan yang ada di hadapannya. Begitu kuat magnet kuasa yang menggiring "pencari muka" melakukan antrean untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, bersorak hebat meski biasa-biasa saja, membuat tidak ada menjadi ada, membuat ada menjadi tiada, atau berdecak kagum meski tak bernilai sedikit jua. Sedemikian takaran peradaban manusia modern yang telah kehilangan pedoman vertikal, seiring tumbuh kokoh kepentingan horizontal. Padahal, Allah telah mengingatkan tipu daya yang demikian melalui firman-Nya :

"Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya" (QS. Ali Imran : 54).

Kelima, kejujuran hanya bisa dinilai dan dilihat oleh yang memiliki kejujuran yang sama. Kejujuran tak akan mampu dilihat dan dinilai oleh manusia yang tidak memiliki sifat kejujuran. Sebab, kejujuran atau tidak kejujuran hanya akan mampu dilihat dalam gerak dan kualitas karakter setara pada setiap diri yang menilai. Pantulan dalam diri akan menggerakkan bentuk penilaian atas alam semesta di luar diri. Karakter baik akan memantulkan penilaian kebaikan. Sementara, karakter buruk akan memantulkan penilaian keburukan pada sesama. Eksistensinya bagai seorang sedang berkaca. Apa yang dilihat adalah pantulan yang berkaca atau unsur sekitar yang sedang berkaca.

Keenam, pemicu kejujuran disebabkan adanya bawahan (rakyat) yang jujur. Bawahan yang jujur "mengundang" hadirnya pemimpin yang jujur. Kualitas kepribadian pemimpin dan bawahan merupakan dua sisi mata uang yang saling mengisi dan mempengaruhi, bagai magnet dan besi. Pemimpin yang jujur mampu menjamin lahirnya peradaban dan peradaban melahirkan keadilan. Ketika keadilan terwujud, kesejahteraan akan mampu diraih. Demikian pula sebaliknya terhadap sifat ketidakjujuran pada pemimpin dan yabg dipimpin. Bentuk kausalitas tersebut dinyatakan Allah dalam firman-Nya: "Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan" (QS. Al-'An`ām : 129).

Ayat di atas dijelaskan Rasulullah melalui sabdanya: "Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian" (HR. Baihaqi).

Menurut Ibnu Jarir yang merujuk dari Sa'id yang meriwayatkan dari Ibnu Qatadah sehubungan dengan takwil ayat di atas, bahwa, "Sesungguhnya Allah mempertemankan manusia berdasarkan amal perbuatan mereka. Dengan kata lain, orang mukmin adalah teman orang mukmin dan orang kafir adalah teman orang kafir. Iman bukan sekadar angan-angan, bukan pula sebagai perhiasan, tapi iman harus disertai dengan amal perbuatan"

Dalam hal ini, Allah memerintahkan manusia agar menjaga kejujuran dengan bijak dengan cara berinterkasi pada sesama pemilik kejujuran. Hal ini terlihat pada firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (jujur)" (QS. at-Taubah : 119).

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas berisi ajakan Allah agar manusia bijak dalam berinteraksi. Ketika seseorang ingin menjaga ketakwaan, keimanan, dan kejujuran, maka seyogyanya senantiasa bersama orang-orang yang benar dalam iman, perkataan, dan perbuatannya. Sementara ketika diri memilih bersama komunitas pemilik kebohongan, maka mengakibatkan diri semakin jauh tergelincir dari sifat kejujuran. Sebab, bila kejujuran berinteraksi dengan komunitas pemilik ketidakjujuran, maka dikhawatirkan kejujuran akan dikalahkan oleh dominasi ketidakjujuran yang memperoleh kepercayaan. Sebab, kualitas kejujuran tak lagi jadi ukuran. Standar utama adalah dominasi atas suatu kondisi. Apatahlagi bila mengatasnamakan konstitusi demokrasi melalui voting, maka komunitas dominan akan menguasai tanpa peduli benar atau salah apa yang diputuskan.

Mungkin, era 5.0 kejujuran merupakan "khazanah langka" dan nanti  (era selanjutnya) mungkin akan dianggap "barang aneh" yang perlu ditinggalkan (disingkirkan). Munculnya penilaian tersebut (mungkin) akibat seirama gerak anehnya peradaban yang dibangun manusia ternyata tak mampu lagi melihat tingginya nilai kejujuran. Akibatnya, kejujuran akan dinilai sebagai penghambat peradaban dan kemajuan. Ketika zaman ini terjadi, mungkin kejujuran telah lenyap ditelan kepentingan, atau kejujuran memang tak diinginkan lagi pada peradaban yang di isi oleh manusia aneh. Sungguh era yang membingungkan, mengecewakan, dan pertanda hancurnya sisi kemanusiaan.

Sungguh, bila kejujuran mampu dipertahankan ketika memiliki kuasa, maka lihatlah tatkala diri tanpa kuasa. Diri akan tetap dihargai sepanjang masa. Namun, bila ketidakjujuran yang lebih utama dimiliki saat berkuasa, maka lihat pula hasil yang akan diperoleh ketika kuasa telah sirna. Hanya hinaan dan cemoohan yang akan diterima. Demikian sunnatullah mengatur manusia dan alam semesta. Meski upaya tipuan untuk memutarbalikkan kejujuran dilakukan, namun tak akan pernah berhasil. Bila berhasil, namun tak akan bertahan lama.

Baca Juga : Karakter Pinokio

Di ujung hasil ketidakjujuran akan menganga jurang kehancuran, tipuan, dan buah kesengsaraan. Sebab, pepatah Melayu mengatakan "emas dan tembaga (loyang) tidaklah sama". Warna emas akan selalu terjaga. Sedangkan warna tembaga (loyang) meski disepuh dan dipoles dengan emas, warnanya akan pudar pada waktunya dan kelihatan kadar yang sebenarnya. Pilihan tentu terpulang pada setiap diri sesuai kadar cermin diri yang sebenarnya. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook