OLEH SAMSUL NIZAR

Ilalang: Flexing Style

Betuah | Senin, 14 Februari 2022 - 07:04 WIB

Ilalang: Flexing Style

DALAM berbagai variannya, pepatah banyak menggunakan kata "ilalang". Penggunaan kata ini merupakan kiasan sifat manusia yang "seakan hebat berisi", namun sebenarnya "kosong dan hampa". Hal yang sama juga dinukilkan bak pepatah, "tong kosong nyaring bunyinya". Kata "nyaring" sesungguhnya menunjukkan ketidakmampuan diri yang sebenarnya.

Sementara istilah flexing secara umum bermakna aktivitas yang dilakukan untuk memamerkan segala sesuatu yang dimiliki berupa materi (kekayaan), jabatan, kehebatan prestasi, ilmu, ibadah, keluarga, teman, keturunan, atau lainnya untuk memperoleh pengakuan dan kekaguman atas apa yang ditampilkan.

Baca Juga : Sabda Alam

Dalam bidang ekonomi, flexing mirip dengan istilah conspicuous consumption atau menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa-jasa yang mewah (terkadang memaksa diri) dengan tujuan menunjukkan status dirinya. Flexing style era modern sungguh mudah terbaca dan mengapung kepermukaan, terutama melalui media sosial yang semakin tak terlendali. Bila dilakukan penelitian secara ilmiah, agaknya isi media sosial saat ini berupa flexing style.

Meski bukan merupakan kejahatan, namun flexing style memperlihatkan manusia masih berada pada peradaban yang belum tinggi. Flexing style yang dilakukan berupa  pengharapan untuk diakui masyarakat, bukan pengakuan masyarakat atas kemampuan diri yang sebenarnya. 

Dalam konteks Islam, flexing style dapat dikategorikan pada hilangnya sifat tawadhu' dan membuka ruang munculnya sisi kesombongan diri. Ada beberapa bentuk flexing style, antara lain :

Pertama,  gairah mempublikasikan diri yang bertujuan agar masyarakat mengakui apa yang dimiliki. Publikasi atas aktivitas keseharian, pamer kekayaan yang melimpah, deretan gelar yang dimiliki, jabatan yang dipegang, makanan yang disantap, kendaraan yang dipakai, asesories yang dimiliki, rumah yang ditempati, tempat rekreasi yang dijalani, segudang prestasi yang diraih (meski sifatnya personal), bersama para pembesar (penguasa) terkenal, bahkan sampai pada aktivitas kehidupan keluarga yang sebenarnya sangat privasi ikut dipublikasikan.

Baca Juga : Barang Bekas

Kegiatan sehari-hari yang tak berkaitan dengan semestinya untuk diketahui tak luput untuk dipublikasi.  Bahkan, hal yang patut dirahasiakan menurut agama ikut dipublikasi agar masyarakat menilai sisi keshalehan diri, seperti ibadah vertikal, sedekah, bahkan kedermawanannya. Anehnya, flexing style seperti ini justru digandrungi dan menjadi "ruang profesi" yang menjanjikan. Tak sedikit yang ikut latah dan mengikuti style ini. Anehnya, style ini merambah semua umur, budaya, kelas (status) sosial, bahkan lintas profesi.

Dalam tataran budaya leluhur, tipe seperti ini sesungguhnya menunjukkan "kekosongan diri" bak ilalang yang tegak menjulang untuk dikenal dan dilihat orang, namun kosong isi yang dimiliki. Semakin frekuensinya tak terkendali, semakin mengukuhkan kekosongan apa yang seharusnya dimiliki dan hilangnya sisi privasi yang diganti dengan lipstik yang memikat.

Flexing style secara sadar telah mendominasi ruang media sosial era globalisasi yang konon menjadi indikator peradaban modern. Namun, bila dilihat isinya tak banyak yang memberikan pencerahan nan mencerdaskan. Sungguh era yang memilukan untuk ditonton generasi yang akan datang. Sebab, tipikal gaya hidup demikian menunjukkan belum tercapainya peradaban modern dalam arti yang sesungguhnya.

Kedua, bila flexing style bertujuan memberi informasi untuk mencerdaskan masyakarat, sungguh sangat diperlukan. Namun, frekuensinya tentu pada hal-hal yang urgen. Hanya saja, tipe seperti ini justeru langka dan kurang mendapat perhatian masyarakat. Informasi cerdas dan menyentak daya intelektual tak banyak diminati. Bahkan, anehnya flexing style model ini acapkali dibuli bila sedikit saja terdapat kesalahan.

Anehnya, ide berkualitas dianggap biasa saja meski cemerlang dan memperbaiki peradaban. Bahkan, meski "penduduk langit" akan bangga atas kebenaran yang dimunculkan, namun sayang "penduduk bumi" menganggap hal yang biasa saja dan jauh dari apresiasi. Apatah lagi bila bersinggungan dengan kepentingan penentu kebijakan, tak sedikit yang dikebiri dan tak disenangi.

Bila perhatian tipe kedua di atas tak dimiliki oleh masyarakat menengah ke bawah, masih bisa dianggap wajar. Namun, bila terjadi pada kaum intelektual dan mengaku "kelas atas" justru menjadi sangat menyedihkan dan memunculkan pertanyaan aneh. Sungguh patut dipertanyakan kualitas "pengaku kelas atas" yang sebenarnya.

Mengacu pada paparan di atas, bila dilihat dari tataran sosiologis, flexing style dengan tipe memamerkan diri dengan berbagai variannya menunjukkan tipe manusia yang baru belajar mengenal peradaban tinggi. Lihatlah para pemilik peradaban tinggi. Mereka berupaya menyembunyikan apa yang dimiliki. Bila merujuk pada khalifaurrasyidin, sosok Abu Bakar Sidiq sebagai sosok ahli ibadah, namun tak ingin orang tau bila ia beribadah. Sosok Umar bin Khattab sebagai sosok yang memiliki "kekuatan dan kuasa" justeru menanggalkan atribut agar bersama dengan rakyat.

Sosok Usman bin Affan sebagai sosok saudagar yang kaya raya, namun menampilkan kesederhanaan dan saling berbagi atas rezeki yang diberikan Allah pada sesama. Sosok Ali bin Abi Thalib sebagai sosok ilmuan cerdas yang mumpuni, namun tetap tawadhu' atas ilmu yang dimiliki, bahkan tak ingin  diketahui. Mereka tak pernah mengatakan paling hebat dan mempublikasikan "kehebatannya". Mereka takut munculnya kesombongan diri yang akan mempertebal hijab antara hamba dan Allah. Kesemua yang ditampilkan menunjukkan kualitas "padi yang bernas". Mereka terhindar dari flexing style yang justeru menampilkan diri bak "ilalang yang hampa" tak berisi.

Sungguh flexing style perlu diarahkan pada hal yang positif, tanpa menghilangkan sisi kebenaran dan moralitas. Apatahlagi bila flexing style dilakukan untuk menutupi kekurangan agar memperoleh "posisi sosial" yang diinginkan. Sebab, bila hal ini yang muncul, kemunafikan dan kehancuran yang akan terjadi. Sungguh, flexing style menampilkan publikasi terbalik atas apa yang ditampilkan. Di manakah posisi kita ? Tentu hanya hati yang selalu malu pada Sang Khaliq dapat menjawabnya.

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

*) Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook