KETIKA masa kecil, seorang anak sering bermain gelembung sabun dan membuat permukaan ember penuh oleh buih sabun. Seakan, ember penuh terisi air dan melimpah. Padahal, air dalam ember sebenarnya sangat sedikit. Permukaan ember hanya dominasi buih dan gelembung sabun yang membuat ember terlihat penuh. Gelembung sabun diembus, dimainkan, dan mengambang ke mana-mana, seiring tawa gembira membahana atas butiran gelembung sabun yang dihasilkan. Namun seketika pula gelembung sabun pecah dan hilang.
Pecahan gelembung sabun yang menempel lantai akan meninggalkan licinnya permukaan lantai. Bila lantai tak disirami air, dikhawatirkan akan membuat lantai licin dan menyebabkan ada yang terpeleset. Demikian analogi atas pemahaman kebijakan literasi bila tidak dipahami secara benar, maka akan sebatas gelembung sabun.
Tak dibisa dibantah, bahwa bangsa berperadaban tinggi ditandai "penghargaan" atas tradisi literasi yang tinggi pula. Secara makna, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca. Sementara Education Development Center (EDC) memahami literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya untuk ditulis sebagai kajian membangun peradaban cerdas, maju, dan beradab.
Merujuk pada arti literasi di atas, ternyata literasi bukan sebatas kemampuan membaca, sebagaimana yang dipahami secara sangat sederhana. Lebih lanjut, literasi sebagai aktivitas membaca (pasif) harus berkorelasi dengan pemahaman (substantif) guna menghasilkan karya (aktif) atas apa yang dibaca dan dipahami. Ketika ketiganya berkorelasi, maka manusia akan mampu membaca dunia, memahami ayat-ayat-Nya, dan membangun peradaban yang rahmatan lil 'alamin.
Secara historis, di antara indikator komunitas yang maju ditandai ketika memiliki bahasa tulis (aksara) sebagai media untuk menjelaskan bukti ketinggian peradabannya. Adalah komunitas bangsa Yunani, Romawi, Arab, Cina, Jepang, dan lainnya sebagai bukti nyata. Demikian pula terhadap bangsa Indonesia melalui aksara Sanksekerta, Arab Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Bali, dan aksara lainnya telah mampu menginformasikan ketinggian peradaban yang dimiliki komunitas tersebut. Aksara yang dimiliki dijadikan media untuk menulis semua dinamika dan temuan ilmu pengetahuan yang ada untuk kemudian dibaca sebagai rujukan antar generasi membangun peradaban. Sementara komunitas yang tak memiliki aksara biasanya memiliki peradaban rendah.
Hanya saja, hadirnya aksara untuk menuliskan peradaban suatu bangsa tak banyak bermanfaat tatkala "kebijakan negara" tidak hadir untuk mendorong dan memberikan ruang penghargaan atas budaya literasi agar terjadi transformasi ilmu pengetahuan lintas generasi dan mencerdaskan peradaban. Andai, Rasulullah tidak membuat kebijakan agar Zaid bin Tsabit menuliskan setiap wahyu yang diterima, maka Al-Qur’an tertulis tidak akan ditemukan. Demkian pula pada masa dinasti Umayah dan Abasiyah. Para khalifah mendorong tradisi literasi (membaca, mengelaborasi, dan menulis) dengan meletakkan posisi para ulama (ilmuan) yang menghasilkan kitab ilmu pada posisi mulia.
Setiap hasil karyanya dihargai para khalifah dengan timbangan emas dan perak. Sebuah kebijakan yang memuliakan hamba (ulama atau ilmuan) yang dimuliakan-Nya. Para ilmuwan dan ulama sibuk berkarya dengan jaminan kebijakan yang mensejahterakan. Mereka tidak "mengemis" jabatan untuk "hidup", tapi justru negara yang "meminta" nasihatnya. Untuk itu, masyarakat cerdas kala itu termotivasi menuntut ilmu untuk meraih kemuliaan (prestasi), bukan sekadar prestise yang penuh kemunafikan. Kebijakan ini mengantarkan para khalifah dan masyarakat pada masa itu memperoleh kemuliaan yang telah dijanjikan Allah. Kemuliaan yang membuahkan kemajuan, keadilan, kemasyhuran, stabiltas, kesejahteraan, kemakmuran, dan peradaban yang tinggi.
Hal ini mengimplementasikan hadis Rasulullah SAW, bahwa : Dari Abdullah bin Amr dan Anas bin Malik RA Rasulullah SAW bersabda “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” (HR. Shahih al-Jami'. Syekh Albani mengatakan hadis ini shahih). Demikian pula Imam Syafie menjelaskannya : "Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya". Namun, era modern (terutama pemilik peradaban rendah) tradisi literasi kurang dihargai dan profesi yang tidak menjanjikan materi.
Dinamisnya dunia literasi masa keemasan Islam meng-hantarkan lahirnya berbagai karya tulis lintas disiplin ilmu pengetahuan dalam jumlah yang sangat banyak. Buktinya, tatkala Baghdad dikuasai bangsa Mughal yang membuang semua karya literasi ke sungai Tigris, mengakibatkan airnya berubah hitam oleh tinta yang digunakan.
Kebijakan penghargaan terhadap dunia literasi diteruskan pemerintah Belanda yang demikian peduli terhadap karya literasi. Adalah Leiden sebagai daerah yang dijadikan untuk mengumpulkan dan menyelamatkan banyak literasi --terutama nusantara-- dari kepunahan. Mereka siapkan anggaran yang besar agar karya literasi yang ada mampu diselamatkan dan menghargai setiap upaya kajian keilmuan (literasi). Sebuah kebijakan yang patut dijadikan contoh nyata atas penghargaan dunia literasi.
Literasi dibedakan berdasarkan beberapa jenis, antara lain : (1) Literasi Dasar ; kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan mendengarkan. (2) Literasi Media ; kemampuan untuk seseorang dapat memahami dan mengerti berbagai bentuk media dan cara pengoperasian-nya (cetak atau elektronik). (3) Literasi Visual ; literasi yang menitikberatkan pada kemampuan seseorang dalam menginterpretasikan dan memahami suatu informasi dalam bentuk visual. (4) Literasi Perpustakaan ; kemampuan literasi yang menitikberatkan pada kemampuan membaca dan berkarya atas apa yang dibaca untuk menghadirkan perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan melalui karya tulis maupun penelitian yang dihasilkan. Perpustakaan dalam makna sebagai sumber tertulis dan alam semesta sebagai sumber terbentang. (5) Literasi Teknologi ; literasi yang berkaitan dengan teknologi. Literasi teknologi merupakan kemampuan untuk menggunakan hardware dan software, serta memahami etika penggunaan atas semua produk yang dihasilkan. (6) Literasi Kebijakan ; literasi atas berbagai dinamik sosial dan alam semesta untuk dijadikan dasar atas kebijakan yang akan diambil.
Paling tidak, secara sederhana literasi dikelompokkan pada 2 (dua) tipe, yaitu : (1). Literasi produktif. Literasi produktif ditandai lahirnya karya tulis yang mencerdaskan. Layaknya para ulama dan ilmuan zaman keemasan Islam yang mampu menghadirkan berbagai temuan dan kajian secara tertulis. Semua bisa dinikmati dan menjadi bahan kajian ilmiah lintas generasi. (2). Literasi konsumtif. Literasi konsumtif ditandai tingginya minat baca generasi untuk membuka cakrawala bagi membangun peradaban. Kajian dilakukan secara per-sonal maupun pada majelis ilmu yang mengupas apa yang dibaca dengan ulama yang mampu menjelaskannya.
Kedua pendekatan ini merupakan ruh dari firman Allah : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya" (QS. al-'Alaq : 1-5).
Demikian semangat dan perintah literasi telah difirmankan Allah dan dijelaskan oleh Rasulullah. Kedua pilihan tersebut bisa dilakukan, meski bentuk literasi aktif perlu diutamakan.
Sungguh, kebijakan literasi era modern patut diberi apresiasi dan didukung secara bersama. Meski tradisi dan substansi mentalitas literasi perlu dipahami secara komprehensif, diperbaiki atau disempurnakan. Ruang-ruang kajian keilmuan perlu dilakukan dan dikembangkan secara massif. Untuk itu, kebijakan literasi perlu dipahami dan diberi ruh agar lebih hidup, bukan hanya sebatas "gelembung sabun". Ada beberapa indikasi kebijakan literasi dipahami secara sederhana sederhana dan seakan gagal, antara lain :
Pertama, Kebijakan literasi masih berorientasi pada membaca dengan indikasi banyaknya pengunjung perpustakaan. Namun tak disediakan "pendampingan" untuk menjelaskan apa yang dibaca. Kondisi ini memungkinkan ketidak-pahaman atas apa yang dibaca. Padahal, Imam al-Ghazali telah mengingatkan bahwa : :Murid membutuhkan guru dan ustadz yang diikuti secara pasti agar mereka menunjukkannya ke jalan yang lurus, karena jalan agama itu tersembunyi, sedangkan jalan-jalan setan banyak dan nampak. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru yang memberi petunjuk, maka setan pasti menuntunnya ke jalannya".
Demikian jelas apa yang diingatkan Imam Ghazali di atas. Namun, kebijakan literasi terkadang melupakan hal ini. Kebijakan sebatas tingginya minat baca, tanpa menyediakan narasumber yang mampu menjelaskan atas apa yang dibaca. Akibatnya, hal ini berkorelasi atas kualitas dan kuantitas karya yang dilahirkan. Kajian ilmiah yang bermuara pada literasi keilmuan yang terpublikasi secara luas masih sangat rendah. Kajian keilmuan masih didominasi pada hasil penelitian yang bermuara pada laporan dan paksaan jurnal bereputasi yang terindikasi material oriented dan "bermain mata".
Kedua, Rendahnya penghargaan atas karya literasi ilmiah. Minat baca generasi lebih didominasi karya fiksi yang menyentuh rasa, bukan rasio. Akibatnya, karya literasi ilmiah yang dipublikasi acapkali dikalahkan oleh karya fiksi yang dicetak puluhan kali. Padahal, acapkali karya literasi ilmiah dijual lebih murah di banding karya fiksi.
Ketiga, Informasi dan publikasi literasi karya ilmiah kurang memperoleh respon sebagaimana. Eksistensinya dikalahkan informasi "politik", publikasi kebijakan normatif, "canda dan lelucon" kehidupan, dan aneka ragam flexing style yang jauh dari ruh ilmiah.
Keempat, Literasi ilmiah kurang dihargai dan merupakan area profesi yang tak menjanjikan. Padahal, proses kajian yang dilakukan membutuhkan energi ilmu pengetahuan, biaya, dan kecerdasan. Eksistensinya berada jauh di bawah literasi fiksi yang mampu menghantarkan imajinasi pembaca tinggi melangit dengan mimpi yang tak merubah peradaban.
Kelima, Motivasi kebijakan literasi berangkat dari "kebutuhan perantara" untuk memperoleh "sesuatu", bukan kebutuhan ilmuan menemukan kebenaran. Akibatnya, literasi bersifat temporer ketika diperlukan, bukan senantiasa hadir memenuhi kebutuhan intelektual untuk pengembangan keilmuan secara konsisten.
Keenam, Kebijakan literasi kehilangan makna dan masih bersifat asesoris. Kehadirannya sebatas euforia eksklusif dan terbatas. Anehnya, bila seluruh pemilik literasi era keemasan peradaban Islam memperoleh "pundi-pundi", namun era modern justeru sebaliknya. Segelintir di antaranya justeru harus menyerahkan "pundi-pundi" agar bisa dimunculkan. Demikian dampak kebijakan literasi menghilangkan sisi-sisi derajat literasi yang seyogyanya dijaga.
Paparan tulisan ini hanya mengingatkan atas kebijakan literasi sebagai aktivitas memperbanyak literatur, namun berhenti pada kegiatan membaca (pasif). Kebijakan yang keliru dalam memaknai literasi. Meski membaca merupakan jendela dunia, tapi membaca tanpa bimbingan dan penjelasan akan menyesatkan. Hal ini diingatkan oleh Imam al-Ghazali, bahwa"Murid membutuhkan guru dan ustaz yang diikuti secara pasti agar mereka menunjukkannya ke jalan yang lurus. Sebab, jalan agama (kebenaran) itu tersembunyi. Sedangkan jalan-jalan setan banyak dan nampak (nyata). Barang-siapa yang tidak mempunyai guru yang memberi petunjuk, maka setan pasti menuntun ke jalannya".
Kebijakan literasi harus berkelanjutan dengan upaya pendampingan untuk menjelaskan makna atas apa yang dibaca agar dipahami dan laksanakan. Literasi bukan sebatas membaca, akan tetapi memahami dan melaksana-kan atas apa yang dibaca. Literasi yang lebih tinggi perlu menghasilkan karya sebagai wujud "buah literasi". Kebijakan yang "berperadaban" akan menghargai karya nyata literasi, bukan "merendahkan" apalagi mengkebiri hadirnya literasi yang mencerdaskan.
Hadirnya karya literasi seyogyanya dihargai pada tataran kemuliaan, bukan dihinakan dengan "mengemis" untuk dihargai. Sebab, ilmu dan pemiliknya dijamin Allah derajat kemuliaan. Jaminan ini disampaikan Allah melalui firman-Nya : "Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (QS. al-Mujadalah : 11).
Dalam menjelaskan ayat di atas, Ibnu Abbas RA berkata bahwa : "Para ulama lebih tinggi 700 derajat di atas orang-orang beriman lainnya. Antara 1 derajat dengan derajat yang lainnya seluas perjalanan 500 tahun." Sungguh demikian mulia pelaku dan pemilik literasi hakiki yang dijanjikan-Nya, meski tak sebagaimana dalam realita kehidupan hamba-Nya yang kurang menghargai pemilik literasi hakiki (penulis kitab). Posisinya kurang memperoleh perhatian dan kehidupan yang semestinya. Bila ada, bukan karena literasi kemapanan diperoleh, namun ikhtiar rezeki lain yang dilakukan. Eksistensinya tertutup oleh teriakan retorika yang lihai "mengarang cerita pengantar tidur". Akibatnya, dunia literasi sekedar pemenuhan persyaratan, bukan kebutuhan intelektual dan kebenaran.
Lalu, bagaimana bentuk dan wajah kebijakan dan semangat literasi era modern. Semua bisa menjawab dengan berbagai penjelasan, sesuai kepentingan atas jawaban yang ingin dimunculkan. Apakah jawaban sebatas gelembung sabun atau jawaban yang sesuai firman Allah yang akan mengang-kat derajat hamba yang munajat sesuai janji-Nya. Sungguh gelembung sabun yang terlihat penuh menutupi bahkan tumpah melimpah, namun kosong, mudah sirna, dan lantai menjadi licin. Akibatnya, tak sedikit yang salah dan terpleset oleh pemahaman literasi yang keliru. Entahlah.. Semua tergantung sudut pandang dan kepentingan manusia setiap masa. Selamat Hardiknas 2 Mei 2023. Orientasi literasi dan semangat hardiknas yang perlu dipahami secara bijak dan benar, bukan sebatas gelembung sabun. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis