SUNGGUH era modern semakin membingungkan. Konon peradaban semakin maju, namun subur berbagai keanehan (anomali) atas gerak pengisi peradaban. Sungguh anomali di era kebingungan. Atau mungkin pertanda akhir zaman demikian dekat, tatkala penganut sekte keanehan dianggap biasa dan sekte idealis dianggap aneh dan perlu disingkirkan.
Meski berbagai anomali muncul di pelupuk mata, namun seakan manusia bungkam atas berbagai persoalan yang dihadapi publik, bahkan tak berani bersuara kritis memperjuangkan nasib keumatan. Apakah hal ini menandai kuatnya otoritarianisme dan feodalisme di kalangan kaum intelektual, atau hilangnya kadar kualitas diri sebagai penyuluh peradaban. Mungkinkah kualitas diri mengalami pergeseran standard, atau standar idealisme yang perlu dirubah untuk menjawab dominasi anomali yang serba kuat nan membingungkan.
Ada beberapa indikasi anomali yang terjadi, namun sepi tanpa reaksi. Di antaranya: Pertama, kualitas keilmuan ditandai oleh jurnal internasional bereputasi. Apakah telah dilakukan uji kompetensi dan penelitian ilmiah bahwa akurasi jurnal internasional bereputasi mampu menjadi acuan tunggal kualitas keilmuan. Sejauhmana kontinuitas penulisan yang dilakukan lima tahun terakhir dan seberapa banyak ide atau karyanya dijadikan rujukan bagi pengembangan keilmuan anak bangsa. Apakah tulisan yang mampir di jurnal ilmiah berkorelasi dengan kualitas keilmuan atau sejauhmana jurnal hadir "tanpa pamrih" dan bebas pendekatan "jalan lain".
Hampir semua pertanyaan tersebut belum mampu dijawab secara ilmiah oleh standar yang konon menjadi indikator utama keilmiahan. Namun, eksistensinya menjadi syarat utama acuan keilmuan seseorang seakan tak bisa dibendung. Penentu kebijakan bergeming. Sungguh membingungkan. Seyogyanya, eksistensi jurnal internasional bereputasi bukan menjadi standar tunggal. Bila hal ini terjadi, akan muncul sisi dominasi tunggal yang merugikan. Sebab, secara sadar tak semua penulis memiliki kontinuitas pada jurnal setara. Akibatnya, eksistensi jurnal sebatas "penyelesaian syarat", bukan pengembangan keilmuan yang seyogyanya perlu dilakukan.
Kedua, anugerah gelar tak berkorelasi dengan kontribusi akademik dan terkadang kehilangan rukun dan syarat. Ketika akademik diperlukan sejumlah syarat untuk terpenuhi, namun ada pula tanpa rukun dan syarat gelar diberikan. Bukankah menambah deretan anomali yang berkelanjutan. Sungguh mudah gelar disandang. Ada pula gelar kehormatan dan adat diberikan. Namun, pada gilirannya berperilaku terbalik atas anugerah yang diperoleh. Seakan, demikian mudah gelar diberi dan diperoleh. Apakah demikian wajah peradaban manusia modern?
Ketiga, hilangnya budaya nilai agama dan moral sebagai standar kualitas lembaga. Ketika the founding father merumuskan dasar negara dan UUD 1945 mengawali dengan kata Allah, pertanda nilai agama menjadi tujuan utama yang mewarnai moral anak bangsa. Demikian pula atas tujuan pendidikan nasional adalah "berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Namun sayangnya, alat ukur ketuntasan belajar dan akreditasi kelembagaan atau prodi justeru tidak meletakkan tujuan pendidikan nasional secara utuh (teritama standard moral). Sungguh anomali yang membingungkan.
Keempat, serasa hambar keadilan, namun suburnya aturan. Sungguh aturan demi aturan, mulai tingkatan tertinggi sampai terendah telah disusun. Bahkan, dalam waktu singkat terkadang dilakukan amandemen dan revisi. Namun, tumpukan aturan yang demikian kurang berkorelasi dengan tataran realita. Kemunculan aturan masih pada tataran penegakan aturan, belum pada penegakan keadilan.
Kelima, hilangnya idealisme intelektual dikerangkeng agar muncul para pembiar kesalahan muncul dominan dengan tepukan gemuruh. Atau munculnya para penghujat yang menggunakan "kacamata kuda" yang acapkali kehilangan rasionalitas dan kesantunan dalam berargumentasi. Dominasi antara pembiar kesalahan dan penghujat saling tarik menarik (kepentingan dan keuntungan), sembari keduanya sesekali memijak kaum idealis yang tak tertarik pada keduanya.
Keenam, bergantinya media sosial sebagai media informasi yang mencerdaskan menjadi media saling publikasi diri yang menggiring pada "peng-aku-an" atau saling menghujat. Ketika Iblis ingin diakui asal kejadiannya yang dianggap mulia, maka peradaban modern ingin diakui apa yang dilakukan untuk dihargai dan memperoleh decak kagum sesama. Bila dilakukan kaum jelata, maka masih bisa dimaklumi. Namun, bila dilakukan para punggawa, maka anomali semakin menguat untuk diakui.
Ketujuh, Tatkala manusia watak dasarnya fitrah (suci), namun dalam realitas berada pada sisi sebaliknya. Bila watak dasar ingin dipuji, namun realitanya suka menghina. Bila watak dasar ingin di atas, namun realitanya suka saling menjatuhkan. Bila watak dasar suka daging masak nan lezat, namun realitanya suka makan bangkai. Bila watak dasar senang kebaikan, namun realitanya menyebar kejahatan.
Bila watak dasar mengharapkan kejujuran, namun pilihannya justeru khianat dan kemunafikan. Acapkali manusia ingin "keluar dari sunnatullah" dengan membangun aturan sendiri. Apa yang terlihat sesungguhnya telah terjadi sejak dahulu, bahkan para nabi dan rasul mengalami tindakan anomali oleh umatnya.
Kedelapan, anomali mendahulukan berpikir negatif (su'udzhan), ketimbang berpikir positif (husnuzhan). Meski dalam teori demikian indah, namun realita justeru berbeda. Anomali ini membangun "peradaban aneh" yang dinilai normal. Contoh, pengaduan masyarakat hampir 99% berisi "negatif" (dengan varian alasan dan kepentingan). Mungkin hanya 0,0001% yang berisi positif. Andai nabi atau rasul pun berada pada zaman anomali saat ini, pengaduan masyarakat atas apa yang didakwahkan akan segera direspon, ketimbang wahyu yang dibawa namun sangat lambat diperhatikan dan dipandang aneh.
Mungkinkah ini maksud pepatah "kerbau di pelupuk mata tak terlihat, namun tungau di seberang lautan terlihat jelas". Sungguh fenomena yang membingungkan. Bila hal ini terjadi, maka manusia telah terlempar dari fitrah aslinya dan membangun "empire anomali" pada peradabannya.
Kesemuanya terjadi karena tertutupnya hati dari kebenaran sejati. Padahal, Rasulullah pernah mengutarakan agar umat waspada munculnya otoritarianisme dan feodalisme. Hal ini terlihat pada sabdanya "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi. Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: 'Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu'." (HR Al-Bukhari).
Bahkan, Allah secara tegas berfirman: "Sesungguhnya Aku telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS Al-Ahzab: 72).
Allah memberikan informasi untuk dipikirkan bila kebenaran yang tak tegak, namun membiarkan kesalahan berkibar melalui firman-Nya: "Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (QS Al-Maidah 49).
Lalu, di manakah kita saat ini. Tentu hanya mereka yang terbebas dari tradisi anomali mampu menjawabnya.
Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***