OLEH  SAMSUL NIZAR

Idulfitri: Proklamasi Hamba?

Betuah | Senin, 02 Mei 2022 - 04:00 WIB

Idulfitri: Proklamasi Hamba?
Samsul Nizar (ISTIMEWA)

SEIRING derai air mata tumpah mengiring kepergian Ramadan bulan sejuta rahmat. Mungkinkah tahun ini menjadi Ramadan terakhir atau masih diperkenankan untuk kembali bertemu dengan bulan sejuta kemuliaan? Tak ada yang tahu. Semua menjadi rahasia-Nya. Lantunan takbir sayup berkumandang diiringi tahmid dan tahlil yang menggema. Pertanda Syawal tiba menyambut para pemenang yang kembali dari medan perjuangan, setelah sebulan menempa diri dan menghunus pedang iman dan taqwa di hadapan iblis dan sekutunya. Namun, apakah diri memperoleh kemenangan yang sebenarnya atau sebatas euforia semu yang tak dipahami atau mungkin tak ingin dipahami?

Idulfitri bukan sebatas kembali kepada kesucian. Sebab, perlu dipahami terlebih dahulu tahapan yang harus dijalani untuk sampai pada kesucian dimaksud. Dalam konteks ini, perlu dilihat firman Allah: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. ar-Ruum: 30).

Baca Juga : Sabda Alam

Pada umumnya mufassir menjelaskan bahwa ayat "hadapkan wajahmu", yakni jiwa dan ragamu dengan lurus kepada agama Islam. Totalitas penyerahan diri pada fitrah-Nya, sebab Allah menciptakan manusia menurut fitrah-Nya tersebut. Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal fitrah berupa kecenderungan mengikuti agama yang lurus, yaitu agama tauhid. Hakikat addin hanif merupakan asal penciptaan manusia dan tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Sungguh, itulah agama yang lurus (addin hanif). Namun, sayangnya acapkali (kebanyakan) manusia tidak menyadari dan mengikuti fitrahnya tersebut.

Merujuk QS. ar-Ruum: 30 di atas terlihat jelas bahwa makna kata “idulfitri” (kembali pada kesucian) adalah pada addin hanif (Islam secara kaffah) merupakan tujuan utama dari proses kesucian.

Tahapan proses tersebut antara lain: pertama,  membersihkan diri dengan taubat nasuha. Pembersihan diri meliputi aspek jasmani maupun (terutama) rohani dari sifat sombong, iri, dengki, dendam, serakah (bahkan melampaui batas), merasa paling benar dan mulia munafik, khianat, zhalim, dan penyakit hati lainnya. Semua sisi kotornya  hati perlu terlebih dahulu dbersihkan. Sebab, dimensi ini menjadi syarat awal untuk memasuki tahapan selanjutnya.

Kedua, penghambaan secara totalitas. Penghambaan tanpa paksaan melaksanakan perintah Allah untuk  berpuasa. Penghambaan yang mampu merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan napas dan denyut nadinya. Suatu sisi penghambaan yang terkadang jarang terjadi di luar Ramadan. Penghambaan yang melahirkan ketundukan yang utuh untuk menjaga puasanya meski dalam kesendirian. Demikian indah ketika diri mampu menghadirkan Allah terpatri sepanjang masa. Tak akan ada kemungkaran, apatahlagi kezhaliman dilakukan. Semua lebur dengan muncul rasa malu sedang dilihat oleh Allah Zat Yang Agung.

Ketiga, melaksanakan dan mempertahankan rangkaian ibadah yang diperoleh selama bulan tarbiyah (Ramadan) pada 11 bulan ke depan. Kualitas bekas Ramadan sesungguhnya diuji secara valid pada pasca-Ramadan.

Keempat, mempertahankan sisi penghambaan yang dilatih selama Ramadan. Sisi penghambaan yang perlu dilatih untuk melahirkan hamba yang tawaduk. Ketika sisi penghambaantak mampu dipertahankan, maka akan leluasa sisi kesombongan menguasai diri, bahkan melampaui kesombongan iblis. Sebab, iblis hanya memiliki kesombongan menjadikannya memperoleh murka Allah. Sementara manusia yang kehilangan sisi penghambaan akan menghadirkan kesombongan dan kezaliman. Dua sisi yang selalu hadir bersamaan.

Kelima, menjadikan Ramadan bulan perbaikan diri bak sosok ulat yang menjijikkan. Namun, media puasa digunakannya untuk menyucikan dan memperbaiki diri menjadi kupu-kupu nan indah dan cantik.

Bila kelima capaian atas Ramadan mampu diraih, maka lagak diri mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil untuk memproklamirkan diri sebagai hamba di hadapan Allah Swt. Adapun bacaan takbir, tahmid (alhamdulillah), dan tahlil memiliki makna ungkapan diri bahwa pujian dan syukur hanya kepada Allah Swt, sekaligus berikrar bahwa segala kesempurnaan pujian hanya milik Allah Swt semata. Takbir, tahmid, dan tahlil yang mengagungkan Allah dan menyadarkan diri sebagai hamba yang tanpa daya, kecuali daya yang diberikan Allah semata.

Namun demikian, dilihat pada sisi kegembiraan Idulfitri paling tidak ada tiga jenis kegembiraan manusia ketika menyambut Syawal, antara lain yaitu: pertama, gembira karena mampu meraih kemenangan melawan iblis, mengisi Ramadan, dan keberhasilan diri menyambut sapaan Allah dengan keimanan yang ikhlas. Hamba yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai media fotomorposis diri dari ulat yang hina, berproses menjadi kepompong, lalu lahir sebagai kupu-kupu indah penyejuk mata setiap yang melihat. Sungguh beruntung dan  berbahagia hamba yang masuk pada tipe ini. Ia hadir bagai seorang anak yang baru lahir dari rahim ibunya, halus mewangi tanpa noda dan dosa.

Bagi pemilik tipe ini, media Syawal tak ada tersisa iri dengki, dendam kesumat, apatahlagi membuka aib sesama. Semua dimaafkan sebelum diminta dan dikembalikan pada cermin kasih sayang Allah. Sikap ini merupakan pengejawantahan kesalehan vertikal yang dibangun selama Ramadan menjadi keshalehan horizontal ketika Syawal tiba.

Kedua, gembira karena bebas dari "kekangan" puasa dan perintah Allah selama Ramadan. Kegembiraan tipe ini bagai "kuda lepas dari tali kekang". Tipe ini akan melampiaskan kebebasan pasca-Ramadan. Belum sirna Ramadan, tapi sibuk membicarakan Syawal dengan berbagai persiapannya. Sungguh merugi manusia tipe ini. Ramadan hadir hanya sebatas perjalanan syariat menahan haus dan lapar.

Bagi pemilik tipe ini, kesalehan sosial (horizontal) akan dibangun melalui tradisi halalbihalal secara pasif. Ia akan memaafkan bila yang menzalimi meminta maaf. Bila tidak, ia tak akan memaafkan kesalahan sesama. Sungguh merugi pemilik tipe ini. Sebab, bersikap pasif menjemput derajat yang dijanjikan Allah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW: "Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)’" (HR Muslim).

Ketiga, tanpa ada merasakan apa-apa (gembira atau sedih). Puasa sepertinya hadir dan pergi sebatas rutinitas normal pergantian waktu. Bagai rutinitas siang dan malam. Semua silih berganti tanpa sedikit jua berpengaruh pada diri. Ramadan bagai air dan minyak atau air di atas daun talas. Hadir tanpa membekas. Ramadan maupun di luar Ramadan "kejahilan" diri terus berkibar dengan angkuhnya. Semua penyakit hati terus berkembang biak. Bahkan acapkali tak mampu terbendung dan keluar terlihat nyata pada tampilan jasad. Ramadan hanya sebatas asesoris menutupi "busuknya diri" yang ternganga, tapi tak mampu tersentuh. Kesalehan yang dihadirkan hanya sebatas menutupi kesalahan yang ada. Sungguh celaka manusia pada tipe ini. Sebab, kehadiran Ramadan sama  sekali tak mampu sedikit jua membekas atau mengubah diri, bahkan Ramadan digunakan untuk mengelabui kesalahan dengan (seakan) menjadi manusia yang saleh nan sempurna.

Bagi pemilik tipe ini, kesalehan sosial (horizontal) akan dibangun melalui tradisi halalbihalal dalam kapasitas asesoris. Kemaafan yang ditunjukkan sebatas kemaafan semu yang didominasi kokohnya dendam yang tak berkesudahan. Sungguh celaka mereka yang menampilkan kemunafikan dalam melaksanakan perintah Allah. Sebab, akibat dari sikap ini amalan keduanya akan ditunda oleh Allah. Apalagi sampai sebatas munafik memaafkan, namun tersimpan khianat dan dendam, maka tertolaklah amaliah yang dilakukan.

Lalu, di saat Idulfitri ini, di posisi manakah diri kita? Mungkinkah proklamasi semu atas sisi kemanusiaan yang selalu menutup mata hati melihat kualitas diri? Ataukah proklamasi penghambaan yang tulus yang membuka tabir mengenal Ilahi? Hanya ketika sisi penghambaan mendominasi diri, maka akan terlihatlah siapa diri ini. Semoga diri yang senantiasa memperoleh dan menikmati cinta Ilahi. Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Dr Samsul Nizar adalah Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook